Pertama kali melihat sampul buku “Pulang”
di toko buku, ingatan saya langsung menerawang pada sebuah buku karangan Andre Gorz yang diterbitkan
oleh Resist Book, Sosialisme & Revolusi. Pilihan warna, dan font serta corat-coret ilustrasi yang
sejenis membuat saya menduga bahwa buku ini pasti juga nyerempet hal-hal yang berbau kiri. Ketika saya membalik buku
tersebut untuk membaca sinopsis ceritanya di belakang, tentu saja, bulls eye!
Bandingkan cover Sosialisme & Revolusi (Andre Gorz) dengan cover Pulang |
Begitu eksotisnya tema kiri di
Indonesia hingga tak terhitung lagi berapa banyak novel yang menyematkan
peristiwa G30S(/PKI?) ke dalam isinya. Ayu Utami dalam buku “Manjali &
Cakrabirawa” atau ‘Blues Merbabu”-nya Gitanyali mungkin bisa menjadi dua contoh
aktual bagaimana novel populer era 2000-an pun masih menganggap seksi tema
tersebut. “Pulang” pun mencoba peruntungannya di tema tersebut.
Dengan tebal cerita mencapai 451
halaman, “Pulang” mampu mencapai spektrum yang luas dalam ceritanya. Andai saya
menjadi Leila S. Chudori, sang penulis, mungkin saya akan memilih untuk membagi
cerita ini menjadi 2 buku seperti Ayu Utami yang membelah cerita “Laila Tak
Mampir di New York” menjadi “Saman” dan “Larung”. Namun ternyata Leila tak
memilih opsi itu dan cukup percaya diri melepas “Pulang” yang setebal batu bata
ini dengan harga yang tidak ekonomis.
Kisah berputar pada kehidupan dua
tokoh utama ayah-anak, Dimas Suryo dan Lintang Utara. Diceritakan bahwa Dimas
Suryo, seorang jurnalis yang sedang mendapat tugas kantor untuk menghadiri
pertemuan jurnalis di Santiago, Chile, tiba-tiba mendapati dirinya tidak bisa
pulang ke tanah air. Bertepatan dengan kepergiannya tersebut, ternyata di
Indonesia meletus peristiwa G30S. Sialnya dia dianggap salah satu simpatisan
partai komunis yang dianggap sebagai pemberontak tersebut hingga paspornya
dicabut.
Namun di balik kesialan tersebut,
ada untungnya juga. Andai saja ia ada di dalam negeri, bukan tidak mungkin
Dimas Suryo akan ikut diculik, dibunuh, lalu mayatnya berakhir mengapung di
sungai seperti yang diceritakan Aji Suryo, adiknya, ketika berkorespondensi
dengannya. Bersama 3 kawan lainnya yang menjadi eksil politik, Dimas, Nugroho, Tjai,
dan Risjaf meretas jalan panjangnya sampai akhirnya berlabuh di Paris. Di kota
yang indah ini, empat sahabat ini mencoba memulai hidup baru, termasuk memulai
keluarga baru.
Cerita kedua kemudian beralih ke
Lintang Utara. Anak dari Dimas Suryo hasil perkawinannya dengan Vivienne
Deveraux, gadis Prancis yang ditemuinya pada sebuah peristiwa demonstrasi di
Universitas Sorbonne pada Mei 1968. Lahir dan besar di Paris tidak membuat
Lintang tercerabut dari akar leluhur ayahnya yang asli Indonesia. Kisah-kisah
perwayangan, batik, kebaya, dan makanan-makanan khas Indonesia akrab dengan
dirinya meskipun ia tak sekalipun pernah menjejakkan kakinya di indonesia.
Sampai akhirnya, pada usia 22 tahun, dosennya di Universitas Sorbonne,
memerintahkannya untuk membuat film dokumenter yang amat berkaitan dengan masa
lalu ayahnya di Indonesia.
“Pulang” adalah sebuah novel yang
boros tokoh. Namun tidak perlu khawatir, kemampuan Leila S. Chudori memberi
karakter yang kuat pada tokoh-tokohnya membantu pembaca untuk dapat mengenali
dengan baik tokoh-tokoh yang hadir di buku ini. Meskipun demikian, beberapa
tokoh tetap terasa tidak penting sama sekali. Sebagai contoh Sumarno “Si
Telunjuk” yang kehadirannya hanya ada di dua scene sama sekali tidak signifikan. Begitu pula rekan-rekan Segara
Alam di LSM Satu Bangsa yang namanya bahkan tidak sampai sepuluh kali disebut
di dalam novel.
Cerita kekejaman yang menimpa
para anggota PKI dan keluarganya sudah banyak kita dengar. Namun hanya sedikit yang mampu
memberi kesan seperti yang dituturkan dalam kisah Surti Anandari berikut ketiga
anaknya di buku ini. Uniknya, meskipun mampu memberi kesan yang mendalam,
pendeskripsian kekejaman pihak militer yang dituturkan di dalam buku ini tidak
brutal. Sebagai istri dari pegiat kiri, Hananto Prawiro, Surti harus merasakan beratnya
tekanan mental ketika diinterogasi berbulan-bulan lamanya oleh pihak militer.
Kisah yang dibumbui cinta segitiga antara Dimas-Surti-Hananto ini kemudian
diakhiri dengan pilu ketika akhirnya Hananto ditangkap di tempat persembunyiannya.
Tenang, ini bukan spoiler, scene tertangkapnya Hananto ini justru
menjadi pembuka cerita novel ini.
Buku ini secara cerdas juga mampu
menangkap fenomena Stockholm Syndrome
seperti yang digambarkan dalam pernikahan Rukmini, mantan istri Nugroho yang
buronan politik dengan Letkol Prakosa, tentara yang turut andil dalam membantai
simpatisan komunis di Indonesia. Pernikahan antara yang diteror dengan yang meneror
seperti yang terjadi pada kisah Rukmini dan Letkol Prakosa ini memang
benar-benar banyak terjadi di dunia nyata.
Fragmen lain yang baik sekali ditampilkan
dalam buku ini adalah bagaimana konflik yang terjadi ketika Rama, anak Aji
Suryo, yang hendak menikahi Rininta, anak seorang Direktur di Perusahaan BUMN.
Bagaimana sulitnya keluarga yang di KTP-nya diberi cap ET (Eks Tapol) dalam
membangun kehidupan sosial di masyarakat yang sudah kadung benci kepada apapun
yang berbau komunis. Saya sampai harus sejenak mengatupkan buku ini ketika Lintang
berkata,”Bukan hanya nasi goreng!” kepada keluarga Rininta sebagai bentuk
protesnya atas diskriminasi yang diberlakukan kepada ayah dan teman-temannya di
Paris.
Untuk anak-anak generasi 2000-an
seperti sekarang ini mungkin akan amat sulit membayangkan bagaimana “kesalahan”
salah seorang anggota keluarga, katakanlah seorang paman, bisa diwariskan
kepada keluarganya yang lain hingga harus menerima sanksi sosial yang
dilegitimasi dalam peraturan pemerintah. Saya masih ingat sebuah film komedi jadul yang saya lupa judulnya (rasanya
yang main adalah grup Pancaran Sinar Petromaks; PSP). Seorang pria hendak
melamar pekerjaan sebagai sopir pada sebuah keluarga. Sebagai bekal melamar,
dia melampirkan Surat Keterangan Bebas G30S/PKI. Saya yang naif ketika itu
tertawa terbahak-bahak karena menyangka surat itu adalah bagian dari komedi.
Namun ternyata tidak, Surat Keterangan Bebas G30S/PKI itu memang benar ada.
Ketika mengetahui hal tersebut, saya tidak habis pikir. Betapa absurdnya surat
tersebut. Betapa absurdnya Negara Indonesia. Betapa absurdnya Orde Baru.
Cara bertutur buku ini yang
ringan mampu mengimbangi cerita sejarah politik Indonesia yang centang-prenang.
Walaupun sebenarnya kadang saya sedikit terganggu dengan diksi yang dipakai
Leila. Sebagai contoh, saya sangsi seorang Surti akan menggunakan kata
“kuliner” dalam suratnya ke Dimas pada tahun tujuh puluh-delapan puluhan.
Rasanya kata “kuliner” amat asing di Indonesia sampai pada tahun 2000-an
akhirnya dipopulerkan oleh Bondan Winarno berikut frase “mak nyus” dan “top markotop”.
Korespondensi antara Lintang
Utara dan Dimas Suryo juga terasa aneh dengan hadirnya diksi yang terlalu
puitis seperti kata “kerap”. Memang Lintang dibesarkan dengan berbagai karya
sastra, termasuk sastrawan Indonesia semacam Chairil Anwar atau Rivai Apin.
Namun tetap saja aneh menggunakan kata seperti kata “kerap” di dalam
korespondensi.
Bagaimanapun, “Pulang” mampu
membalut roman kehidupan Dimas Suryo dengan kejadian-kejadian sejarah tanpa
membuatnya terasa “kering”. Kisah-kisah kelam yang terjadi sepanjang medio
1965-1968 sudah banyak dituangkan dalam berbagai media seperti film dokumenter atau
buku. Namun menceritakan kisah tersebut dengan mengangkat sisi humanis dalam
sebuah novel seperti yang dilakukan Leila S. Chudori melalui “Pulang” jarang
dilakukan. Bagaimana seseorang yang dibenci oleh bangsanya sendiri akan selalu
merindukan tanah airnya. Bagaimana seseorang yang sudah sedemikian hangatnya
diterima di negeri rantau akan selalu memendam hasratnya untuk dapat pulang.
2 tanggapan:
Mantab benar nih si Abang Rae mereviewnya. Lengkap dan bisa menjelaskankan isi cerita buku ini secara keseluruhan.
Dan sepertinya menarik untuk dibaca, sebab gue udah agak bosan dengan cerita-cerita percintaan yg itu-itu saja, hehee.
Makasih infonya Bang Rae.
heuheuheu...
udah lama nih gue gak nulis di blog ini. buku pulang lumayan asik kok. walopun kontennya lumayan serius, tapi bahasanya enteng, gak sok-sokan puitis.
Posting Komentar