Banyak film adaptasi novel yang gagal menemui ekspektasi pembaca bukunya. Mungkin boleh dibilang trilogi Lord of The Ring adalah salah satu yang sukses. Sisanya, berakhir dengan cibiran penggemar novelnya. Sebut saja seri Harry Potter, dari 7 (atau 8?) filmnya tidak ada yang benar-benar bisa memuaskan penggemar fanatiknya.
Langkah yang kemudian bisa diambil adalah dengan membuat diferensiasi, sehingga penonton tidak melulu membandingkan film dengan novelnya. Langkah ini bisa dengan mengubah alur cerita atau mengubah sudut pandang dan cara bertutur. Saya masih ingat ketika menonton "A Walk to Remember", penyesuaian latar belakang tokoh dan sudut pandang bercerita cukup membantu penonton untuk tidak melulu membandingkan film dengan novelnya. Namun langkah ini tidak selalu berhasil. Langkah ini bisa jadi juga justru menjadi bumerang seperti twist yang coba disajikan Breaking Dawn part II dari saga Twilight.
Dalam film adaptasi novel karya Yann Martell, Life of Pi, Ang Lee sebagai sutradara ternyata memilih untuk strict (bahkan cenderung terlalu ketat) pada cerita yang ada di novel. Baik dari sisi cerita maupun cara bertuturnya. Sebuah langkah bijaksana, karena Ang Lee mendapat keuntungan dari kelemahan novel tersebut.
Bukan, bukan berarti Life of Pi sebagai novel adalah buruk. Namun keterbatasan novel dalam memvisualisasikan kehidupan Pi di tengah laut mampu dieksploitasi dengan sangat baik oleh Ang Lee melalui gambar yang megah dan memukau. Apalagi kalau dinikmati dalam format 3D.
Life of Pi sendiri berkisah mengenai perjuangan Piscine Molitor Pattel, yang biasa dipanggil Pi (baca: Pay), anak muda dari India yang harus mempertahankan hidupnya di atas sekoci setelah kapal yang ditumpanginya karam di Samudera Pasifik. Tidak hanya berjuang melawan Samudera Pasifik, Pi juga harus menghadapi seekor Harimau Benggala yang ikut menumpang di sekocinya. Harimau yang juga selamat dari kapal karam setelah sebelumnya hendak dijual dari Kebun Binatang Pondicherry, India ke sebuah kebun binatang di Amerika Utara.
Dalam perjalanannya tersebut, Pi mendapatkan keyakinan bahwa Tuhan selalu bersamanya. Di saat ia merasa Tuhan telah menelantarkannya, ternyata Tuhan kemudian memberinya harapan-harapan baru. Satu pesan moral yang sejujurnya saja tidak tergarap dengan terlalu baik. Cerita mengenai perjalanan spiritualitas Pi yang unik tidak tergarap dengan detil. Contohnya saja mengenai proses pengenalan Pi pada sinkretisme agama terasa terlalu cepat. Soal setuju tidaknya anda pada sinkretisme itu tentu soal lain.
Namun demikian, hal ini tidak membuat film ini menjadi lemah. Mungkin di sinilah diferensiasi Life of Pi sebagai novel dan sebagai film. Jika di novelnya, Life of Pi sering memunculkan sisi spiritualitasnya, maka di film, Life of Pi lebih menekankan pada petualangannya.
Sebagian pembaca novel Life of Pi mungkin akan menganggap film ini tidak menemui ekspektasi mereka, namun sebagian yang lain mungkin justru menganggap film ini melampaui ekspektasi mereka. Tergantung bagaimana anda menaruh skala prioritas. Apakah lebih penting bagi sebuah film untuk menghibur atau lebih penting untuk menyelipkan pesan moral yang kuat.
Sebagai jalan tengah, saya berpendapat, bahwa film Life of Pi menyempurnakan novel yang telah dibuatnya. Keterbatasan novel mampu ditutup dengan baik oleh filmnya, tanpa merasa perlu menyaingi kemahsyuran yang sudah dimiliki oleh novel tersebut.
1 tanggapan:
Film fav gw
Posting Komentar