Musim kampanye kadang memang bikin jengkel. Ada sih elit partai semacam Fadli Zon atau Fahri Hamzah yang gayanya provokatif. Tapi sejujurnya, yang lebih sering bikin sebel itu justru di akar rumputnya. Debat gak karuan ngebela jagoannya sambil nyela lawan.
Histeria penonton memang kadang lebih seru daripada pelakonnya. Supporter sepakbola -yang cuma hiburan- aja bisa bunuh-bunuhan, apalagi supporter politik yang bawa agenda-agenda serius.
Kadang kalau diperhatiin, mereka justru lebih asyik dengan cela-celaannya ketimbang hal yang lebih fundamental, program kerja. Konyol.
Program kerja itu isu utama, yang lainnya cuma isu pinggiran. Tapi isu pinggiran ternyata lebih sering dibawa ke tengah pusaran. Pinjem istilahnya Fahri Hamzah, karnavalisasi. Sementara isu utamanya justru kelempar ke sudut yang gelap. Gak seksi untuk dibahas.
Gimana pemilih bisa jadi cerdas? Levelnya gak naik-naik. Jongkok terus cela-celaan. Gak bisa lompat mikirin program.
Personality mendapat porsi perhatian lebih besar. Yang katanya ingkar janji lah. Yang penjahat HAM lah. Yang pebisnis kotor lah. Selagi yang nyalon bukan malaikat, bakal tetep aja ketemu aibnya. Yakin deh.
Kampanye juga sebelas dua belas kandungan gizinya. Isinya cuma janji rakyat bakal sejahtera, korupsi diberantas, harga beras murah. Itu kan ujungnya. Tapi cara sampai ke sananya gak pernah dibahas. Masuk akal gak cara-cara yang ditawarin? Boro-boro ada yang nawarin, ada yang maparin juga mungkin bisa diitung jari.
Yang ada nantinya, orang milih lebih karena sentimen-sentimen pribadi. Bukan milih karena desain politik yang diusung jagoannya.
Beneran mubadzir yang kayak begini. Ekornya pasti sakit hati pas jagoannya kalah. Orang yang kayak begini mah ga lebih baik daripada penganut golput.
Yang lebih penting dari milih wakil rakyat dan pemimpin itu justru ada di diri kita sendiri. Penguatan kapasitas, bersinergi, itu lebih penting.
Coba, seberapa besar sih peran presiden ato wakil rakyat hasil coblos-coblosan itu buat perjuangan Butet Manurung membuka jendela cakrawala dunia bagi anak-anak suku Kubu? Mungkin nyaris tidak ada. Tapi perubahan tetap terjadi. Itu baru satu contoh.
Tanpa kehadiran sistem yang diproduksi demokrasi a la kotak suara pun kita ternyata tetap bisa melakukan perubahan. Tahun-tahun terakhir ini banyak yang menganggap Indonesia sebagai negara autopilot. Toh negara ini bertahan.
Nyoblos itu penting, tapi gak penting-penting banget.
Dapet pemimpin jelek itu derita, tapi bukan kiamat.
Sekalipun nanti hasil pemilu tidak sesuai keinginan, tetap ada harapan untuk terjadinya perubahan. Caranya ya itu tadi, dari diri sendiri.
2 tanggapan:
Numpah nyampah ya,,
Selagi yang nyalon bukan malaikat --> salah!! Selagi yang nyalon bukan Tuhan
Tapi cara sampai ke sananya gak pernah dibahas. --> Kan takut ditiru re,, *kata salah seorang caleg pas di-interview Mata Najwa*
seberapa besar sih peran presiden ato wakil rakyat hasil coblos-coblosan itu buat perjuangan Butet Manurung membuka jendela cakrawala dunia bagi anak-anak suku Kubu? Mungkin nyaris tidak ada. --> Anies Baswedan juga punya Indonesia Mengajar loh. Jadi volunteer yok, kan mau jadi agent of change,, :P
gak ketuaan lo mau ikut Indonesia mengajar? Itu baby mau lo tinggal apa diajak ke pelosok? awas kena malaria. :-P
Posting Komentar