Sumber: http://loymachedo.com/ |
William Hung, pria keturunan Asia, dengan kualitas suara di bawah rata-rata sekonyong-konyong menyedot perhatian Amerika Serikat. Kualitas penampilannya yang pas-pasan ternyata menjadi anti-tesis dari pakem yang selama ini dipegang industri musik Amerika Serikat. Angka penjualan album pertamanya mencapai 200.000 keping lebih. Dua album berikutnya juga mencatat hasil yang tidak terlalu mengecewakan, 35.000 dan 7.000 keping.
Cerita William Hung di atas setidaknya membuktikan bahwa kualitas tidak selalu berbanding lurus dengan popularitas. Begitu banyak penyanyi dengan kualitas baik di dunia, tapi sejarah hanya mencatat segelintir saja. Hal ini amat disadari oleh industri musik dunia, termasuk di Indonesia. Kalau tidak, nama-nama seperti Kangen Band atau Mbah Surip tidak akan pernah menjadi fenomena di negeri ini.
Industri musik tidak melulu soal musik. Weird Al Yankovic menggabungkan musik dan humor. U2 memasukkan agenda-agenda politiknya dalam syair, Lady Gaga senantiasa tampil teatrikal. Industri musik bukanlah sekedar hiburan untuk memanjakan telinga.
William Hung; Sang Fenomena |
Ada sebuah pengalaman yang dituntut untuk bisa dinikmati dalam sebuah paket musik. Tuntutan yang lebih besar ketimbang sekedar suara indah. Maka dari itu, untuk menjadi seorang biduan yang populer dibutuhkan lebih dari teknik vokal yang mumpuni. Dapat dimengerti jika kemudian Simon Cowell mengkritik acara The Voice dengan blind audition-nya dengan berujar,”The Voice should have been on the radio.”
Sebuah kritik mengenai bagaimana industri musik tidak bisa hanya mengandalkan kualitas vokal artisnya.
Dalam rangka mencari calon orang-orang populer di dunia musik, maka industri membutuhkan riset pasar. Industri berusaha memahami apa yang diinginkan konsumen. Tidak ada urusan soal bagus atau jelek. Apa yang pasar minta, maka itulah yang industri sediakan.
Maka lahirlah ajang pencarian bakat (talent show). Dengan penilaian yang didasarkan pada hasil voting masyarakat, setidaknya penyelenggara kemudian dapat menilai nilai jual seorang peserta dari dukungan yang didapat. Tujuan dari ajang ajang pencarian bakat seperti ini memang bukan mencari yang terbaik secara kualitas. Acara-acara model ini mencari apa yang disebut People’s Champion. Juara yang dipilih oleh rakyat. Serupa tapi tak sama dengan demokrasi.
Ajang pencarian bakat adalah sebuah riset pasar gaya baru. Jika sebelumnya riset pasar membutuhkan biaya yang besar, maka riset pasar melalui talent show tidak demikian. Riset ini justru menyenangkan banyak pihak dan yang utama bagi industri musik adalah: mengundang sponsor.
Academia, Idol, X-Factor, The Voice, sebut saja yang lain. Semua acara tersebut adalah riset yang dilakukan industri musik untuk mencari tahu keinginan pasar. Terbukti, tak sedikit alumni dari acara-acara tersebut memang menjadi idola baru. Contoh yang paling gres tentu saja adalah One Direction yang merupakan jebolan X-Factor UK.
Indonesia, sebagai bagian dari masyarakat dunia, tentu tidak mau ketinggalan. Berbagai jenis franchise talent show mencoba peruntungannya di Indonesia. Mulai dari Akademi Fantasi, Indonesian Idol, sampai X-Factor berusaha “meriset” keinginan masyarakat Indonesia.
Setidaknya acara-acara model ini sudah berkiprah sekitar satu dasawarsa. Tiap musim acara berakhir, maka riset juga selesai. Idealnya, hasil riset kemudian di-up scale ke dalam skala industri. Namun ternyata, hasil riset yang ada selama ini lebih banyak melempem. Coba, alumni talent show Indonesia mana yang benar-benar sukses. Ada berapa banyak? T2 alumni AFI rasanya cukup lumayan. Kotak dari Dreamband juga cukup sukses. Sisanya? Hilang ditelan bumi. Delon? Justru lebih beruntung sebagai bintang film.
Mengapa riset pasar yang sudah dilakukan industri musik melalui talent show di Indonesia tidak “bunyi” di industri musik? Kalau boleh menduga, mungkin jawabannya adalah karena riset yang dilakukan di Indonesia tidak memenuhi “kaidah riset” yang baik dan benar untuk sebuah ajang pencarian bakat.
T2; Dari Sedikit yang Sukses (Sumber: http://music.oryn-cell.com) |
Kegagalan ajang pencarian bakat Indonesia dalam menemukan sang People’s Champion amat berkaitan dengan sistem voting yang digunakan. Sebagai contoh, dalam acara American Idol, voting dilakukan melalui telepon. Satu nomor hanya memiliki jatah satu suara. Hal ini amat berbeda dengan sistem voting pada talent show yang ada di Indonesia di mana, penonton justru diminta untuk sebanyak-banyaknya melakukan voting.
Adanya sampel yang terduplikasi dalam proses pemilihan, menjadikan hasil voting bias. Seorang peserta dengan seribu pendukung bisa saja mengalahkan peserta lainnya yang memiliki satu juta pendukung. Asalkan seribu pendukung peserta pertama tadi mengirim voting dengan akumulasi lebih dari satu juta kali.
Jika hasil riset ini dinaikkan skalanya ke level industri musik sebenarnya, di mana prestasi ditunjukkan dari berapa kopi albumnya yang terjual, maka jelas sang pemenang akan melempem. Hasil maksimal pembelian kopi album hanya berkisar di angka seribu keping. Padahal data risetnya menunjukkan ada satu juta lebih penggemarnya. Realisasinya hanya 0,1%.
Hal ini amat mungkin terjadi. Salah satu faktor pendukung terjadinya hal ini adalah panjangnya durasi voting. Jika di ajang pencarian bakat luar negeri, voting biasanya baru dimulai setelah acara dan berakhir dalam beberapa jam, maka di Indonesia voting nyaris bisa dilakukan selama 24 jam, 7 hari seminggu. Voting terhadap seorang peserta bisa dilakukan bahkan sebelum peserta tersebut unjuk kebolehannya. Luar biasa.
Jumlah dan durasi voting yang begitu terbuka lebar tidak akan pernah menjawab siapa People’s Champion yang sebenarnya. Hasil voting hanya menunjukkan militansi dari pendukung masing-masing peserta. Dukungan terbesar mungkin tidak datang dari penilaian yang obyektif, melainkan dari kedekatan voter dengan peserta, entah itu sebagai keluarga, teman, satu sekolah, satu daerah, rekan kantor, dan sentimen-sentimen lain yang jelas tidak ada hubungannya dengan selera musik masyarakat pada umumnya.
Selain jumlah dan durasi voting, hal lain yang juga menjadi inhibitor ditemukannya sang People’s Champion adalah ongkos voting. Hampir seluruh ajang pencarian bakat di Indonesia menerapkan tarif kepada voter ketika memilih. Bukan hanya tarif biasa, namun tarif premium, yang harganya bisa sepuluh kali dari tarif normal!
Mahalnya ongkos untuk menjadi seorang voter tentu saja berimbas pada para swing voters, yang berasal dari masyarakat awam. Masyarakat yang tidak memiliki kedekatan emosional apapun dengan para peserta. Masyarakat yang justru paling obyektif untuk mendeskripsikan bagaimana selera pasar yang sesungguhnya.
Dengan diberlakukannya tarif premium, para swing voters justru akan lebih memilih menjadi golongan putih (golput). Hal yang kontras justru terjadi di Amerika Serikat di mana untuk melakukan voting, voter justru dikenakan layanan bebas pulsa sehingga swing voters tertarik untuk berpartisipasi. Semakin banyak swing voters bersuara, semakin handal hasil riset pasar tersebut.
Selama sistem voting yang diterapkan ajang pencarian bakat di Indonesia tidak berubah, maka jangan terlalu banyak mengharapkan People’s Champion lahir dari acara-acara model ini. Akan ada banyak People’s Champion gagal bersinar karena terkubur timbunan suara hasil voting bertarif premium peserta lain semenjak awal kompetisi.