Artis: Seringai (Arian13, Ricky Siahaan, Sammy Bramantyo, Khemod)
Lagu:
1. Canis Dirus
2. Dilarang di Bandung
3. Taring
4. Fett, Sang Pemburu
5. Tragedi
6. Serenada Membekukan Api
7. Discotheque
8. Program Party Seringai
9. Lagu Lama
10. Lissoi
11. Infiltrasi
12. Gaza
Di dekat tempat saya tinggal ada satu pedagang nasi, mie, kwetiaw, dan bihun goreng. Meskipun masakannya enak, tapi aneh. Rasa semua masakannya sama. Jadi baik nasi goreng, mie goreng, kwetiaw goreng atau bihun goreng rasanya sama, hanya beda bahan utamanya saja.
Lagu:
1. Canis Dirus
2. Dilarang di Bandung
3. Taring
4. Fett, Sang Pemburu
5. Tragedi
6. Serenada Membekukan Api
7. Discotheque
8. Program Party Seringai
9. Lagu Lama
10. Lissoi
11. Infiltrasi
12. Gaza
Di dekat tempat saya tinggal ada satu pedagang nasi, mie, kwetiaw, dan bihun goreng. Meskipun masakannya enak, tapi aneh. Rasa semua masakannya sama. Jadi baik nasi goreng, mie goreng, kwetiaw goreng atau bihun goreng rasanya sama, hanya beda bahan utamanya saja.
Hal yang sama ditawarkan Seringai
melalui album terakhirnya, Taring. Agak malas rasanya untuk mengupas
masing-masing lagu di album ini karena memang terdengar senada dan seirama.
Sebagai sebuah album, Taring gagal memainkan pace bagi pendengarnya. Riff-riff gitar yang sudah sangat kental
sebagai ciri khas dan dibalut dengan “paduan suara” di beberapa titik menjadi
jurus yang selalu diulang-ulang di hampir semua lagu. Ya, hampir semua lagu
kecuali lagu Canis Dirus dan Gaza, itupun lebih karena kedua lagu
itu hanya memainkan instrumentalia yang justru menjadi 8 menit 25 detik paling menyegarkan di album ini.
Menggunakan “paduan suara” di
beberapa titik lagu sejatinya adalah senjata ampuh yang dapat dijadikan sebagai
cue bagi penonton untuk sing along ketika band tampil live. Tapi ketika semua lagu menggunakan
senjata yang sama, yang ada justru rasa jenuh di telinga. Apalagi jurus ini pun
sudah dipakai di album Seringai sebelumnya. Anti-klimaks dari “penyalahgunaan
paduan suara” ini ada di lagu Lissoi. Mendengarkan lagu berbahasa
batak yang dinyanyikan secara koor dengan hanya disertai gitar kopong dan
kecrekan ini membawa otak saya untuk membayangkan sekumpulan pemuda tanggung
pengangguran setengah mabuk yang sedang bernyanyi-nyanyi menghabiskan waktu di
pos ronda. Sungguh sebuah aransemen yang amat buruk.
Lalu apakah hal ini membuat album
ini menjadi buruk? Jawabannya adalah tergantung. Jika Anda sudah terlanjur
menjadi korban gigitan taring dari para serigala militia ini, maka album ini
setidaknya akan menemui ekspektasi Anda, meskipun rasanya tidak akan lebih dari
itu. Namun bagi mereka yang merasa hidupnya terlalu singkat untuk mendengarkan
repetisi yang hanya berganti judul, maka album ini rasanya akan mengakhiri hidupnya
pada siklus putaran CD ke-5.
Di awal kemunculannya, Seringai
membawa angin baru di industri musik Indonesia. Sepak terjang mereka terus
terang mengingatkan saya akan Metallica di awal 90-an (atau akhir 80-an ya?) yang
mampu meracik metal yang ear-friendly
bagi orang kebanyakan.
Untuk mereka yang baru mengenal
Seringai, Taring memang cukup menjanjikan. Tapi untuk mereka yang sudah
mengekori kiprah Seringai, album ini berakhir dalam penilaian biasa-biasa saja.
Miskinnya inovasi di album Taring membuat Seringai menjadi stagnan sehingga
musik mereka menjadi sangat mudah untuk diprediksi.
Tapi terus terang, saya tidak
tidak tega juga untuk menyelesaikan review
ini tanpa setidaknya sedikit memuji kerja keras pahlawan musik keras Indonesia
ini. Kalau boleh ada yang diandalkan dari Taring adalah artwork CD mereka yang
amat bagus. Jika musisi ingin pendengarnya tetap membeli karyanya dalam bentuk
fisik, bolehlah rasanya mengimitasi usaha Arian13 dalam mengerjakan booklet Taring. Pilihan gambar yang pas,
disertai pilihan kombinasi warna font
dan latar yang tepat membuat booklet
Taring terasa lebih nyaman dibaca dibandingkan dengan booklet album mereka yang sebelumnya, Serigala Militia.
Tidak hanya memperhatikan
estetika, konten booklet ini juga
tidak hanya berisi ucapan terima kasih, halaman kredit, dan lirik-lirik lagu.
Selain tiga konten utama yang sudah biasa kita temui di album musisi-musisi
lain itu, kita juga akan disuguhi semacam komentar singkat dari beberapa
personil Seringai mengenai masing-masing lagu. Hal yang sama juga sudah mereka
lakukan di album sebelumnya. Melalui insight
semacam ini kita menjadi tahu latar belakang mengapa sebuah tema diangkat
menjadi lagu. Melalui komentar-komentar ini pula kemudian kita (setidaknya Saya)
menjadi tahu bahwa, dalam lagu Tragedi, mereka sebal dengan Tifatul
Sembiring bukan karena beliau mempercayai adanya korelasi positif antara akhlak
buruk dan bencana alam, namun karena Tifatul tidak menggunakan empatinya ketika
berkomentar di depan para korban bencana alam. Sesuatu yang rasanya sulit untuk
dapat ditangkap dengan hanya membaca lirik lagu saja.
Pilihan tema untuk membangun
lirik album Taring kebanyakan masih sama dengan album-album mereka sebelumnya. Tema-tema
sosial seperti Lagu Lama dan Serenada Membekukan Api yang mengutarakan
ketidaksetujuan mereka akan RUU anti-pornografi (duh, Tifatul lagi kena!) dan
tema-tema yang berkaitan dengan skena musik non-arus utama seperti pada lagu Dilarang
di Bandung dan Infiltrasi masih mendominasi.
“Pada saat penyusunan album ini, kami sempat berdiskusi tentang topik yang akan diangkat. Seperti apa fenomena sosial yang muncul dalam 5 tahun ke belakang. Ternyata, topik-topik ini sudah kami bahas di album sebelumnya! 5 tahun berlalu, masalahnya masih juga sama. Intoleransi beragama, kekerasan aparat, korupsi, dan lainnya. Ternyata kita stagnan. Rasanya seperti menyanyikan lagu lama yang masih kontekstual hingga saat ini.” – Edy Khemod
Komentar Edy Khemod yang mengantar
judul Lagu Lama di dalam booklet menjadi petunjuk bahwa bangsa ini
tidak bergerak terlalu jauh dalam lima tahun ke belakang. Ironisnya, Seringai
pun ternyata tidak bergerak terlalu banyak dalam lima tahun ini. Bagaimana
mungkin mengharapkan perubahan jika masih menggunakan senjata yang sama? Seringai
jelas perlu taring baru untuk album ke depan atau nasib mereka akan seperti serigala
purba Canis Dirus, punah.
3 tanggapan:
Ngga ngerti musik andergron, kaka...
Saya taunya band ini satu kota sama saya, terus satu tempat nongkrong, tapi ga pernah ketemu, hihihi :P
mungkin karena mereka nongkrong di WC cowo, dan mbak nongkrongnya di WC cewe. =D
eh, emang seringai band bandung? yah.. antara bandung-jakarta lah. udah gak jelas juga sih domisili masing-masing personilnya. =S
kayanya sih Bandung...
Bandung aja laaaah... *nawar*
Posting Komentar