Minggu, November 20, 2011

Wisata Kota Temuan Warga: Di Balik Layar

Wisata Kota Temuan Warga, tulisan yang dibuat oleh saya dan beberapa teman yang lain dalam rangka mengikuti lomba 3on3 writing competition, salah satu sub acara pada acara ONOFFID 2011, baju barunya Pesta Blogger. 

Secara garis besar, tulisan ini adalah reportase yang mengadopsi gaya feature mengenai kegiatan memberi makan rusa di Istana Bogor. Sebenarnya cerita mengenai memberi makan rusa sudah pernah saya tulis di Bogorwatch. Kemudian Temon (one of my partner in crime beside Anggi) memberi beberapa masukan untuk melengkapi data yang bisa memperkaya tulisan. Jadilah kemudian sebuah tulisan baru mengenai kegiatan memberi makan rusa.

Gak cuma plain text yang menjemukan. Beberapa foto juga mendampingi tulisan. Bukan sembarang gambar yang ditampilkan. Dengan memposisikan sebagai foto yang nyeni (non-berita), diharapkan masing-masing foto ini beneran bisa berbicara lebih dari ribuan kata. Once more again, credit goes to Temon for his skill in photo editing.

Ada juga video yang merangkum tulisan tersebut dalam 5 menit 51 detik. Setelah proses trial and error selama beberapa waktu, akhirnya bisa juga dapet style yang asyik di aplikasi ulead videomaker. Coba deh diliat videonya. Oh, please don't be disturbed by Temon's voice during the show. =P


Wisata Kota Temuan Warga 
(Sindikat Kapak Merah Jambu
“Makannya baca bismillah dulu, ya!” ucap seorang anak berumur sekitar tiga tahun kepada seekor rusa.. Anak ini hanya satu dari sekian banyak pengunjung yang antusias memberi makan rusa-rusa dari sebelah luar pagar Istana Bogor. Berkerumun di sepanjang pagar Istana Bogor, ratusan pengunjung berebut memberi makan rusa-rusa yang berani mendekat ke bibir pagar. (Selengkapnya baca di sini)

Rabu, November 09, 2011

Bogor-Serang via Jasinga

Tidak banyak informasi tersedia di internet mengenai jalur yang bisa dilalui sepeda motor antara Bogor-Merak. Kalau lewat jalan tol sih gampang. Maka dari itu, rasanya tidak ada salahnya juga jika pengalaman minggu lalu yang saya lakukan dari Bogor ke Bandar Lampung saya rangkumkan ke dalam tulisan. Siapa tahu bermanfaat jika ada yang ingin iseng-iseng bersepeda motor ke Merak, Anyer, atau menyeberang ke Sumatera dari Bogor.
Sebelum memulai perjalanan ini, satu-satunya jalan yang saya tahu adalah melintasi jalan raya Bogor sampai Cililitan, kemudian membelah Jakarta melalui Jl. MH Thamrin dan Gatot Subroto, lalu berbelok ke Jl. Daan Mogot. Dari Jl. Daan Mogot sudah tidak terlalu sulit menemukan petunjuk jalan menuju Serang dan Merak. Namun rute ini terlalu memutar. Padahal Bogor sendiri sudah agak lebih barat daripada Cililitan.
Maka dari itu saya nekad mengandalkan fitur Google Map untuk mencari rute terpendek (lihat keterangan a pada gambar di bawah). Setelah men-set direction (keterangan b) antara Komplek IPB, Dramaga dan Serang. Jangan  lupa memberi tanda centang pada pilihan "avoid toll" argar Google Map tidak memberi petunjuk jalan yang melewati jalan tol. Google Map memberi 3 alternatif jalan (keterangan c) lengkap dengan jarak dan perkiraan waktu tempuh. Saya memilih jalan alternatif pertama. Rute yang ditempuh adalah IPB Dramaga - Leuwiliang - Jasinga - Tenjo - Serang. Dari Serang, perjalanan sudah lebih mudah karena banyak marka jalan  dan orang untuk ditanyai yang bisa dijadikan sebagai pedoman. 


Sebelum memulai perjalanan, pastikan kendaraan dalam keadaan baik. Lebih baik jika sebelumnya diservis terlebih dahulu. Manfaatkan odometer (penghitung jarak) yang ada di panel speedometer untuk memverifikasi jarak yang sudah kita lalui dengan jarak yang ditunjukkan oleh Google Map. Keterangan d pada gambar di atas menunjukkan arahan detil yang harus kita tempuh termasuk nama jalan dan jarak.

Keterangan d. Detil Rute Perjalanan
Dengan adanya odometer, kita dapat memverifikasi apakah jalan yang kita tempuh sudah benar (ditunjukkan dengan jarak tempuh yang tepat).
Perjalanan saya mulai sekitar pukul 05.15 pagi dari Taman Pagelaran. Sesampai di depan Kampus IPB Darmaga, saya me-reset odometer menjadi 0. Perjalanan dimulai dengan menyusuri jalan raya Dramaga. Tidak terlalu sulit menempuh perjalanan dari Dramaga menuju Leuwiliang dengan mengikuti petunjuk jalan dari Google Map di sebelah kiri ini. Satu-satunya percabangan jalan yang ada adalah antara arah Leuwiliang dan Ciampea. Ambil arah kiri untuk tetap berada di jalan Cibadak Raya.

Lepas dari pasar Leuwiliang, perlahan-lahan jalanan mulai terasa sepi. Jika bahan bakar kendaraan sedikit, disarankan untuk membeli bahan bakar di SPBU terlebih dahulu setelah pasar Leuwiliang. Perjalanan ke Ciampea cukup jauh. Jalanan yang dilewati tidak terlalu baik, walaupun untuk kendaraan roda dua masih bisa memilih-milih jalan yang tidak berlubang. Di sini juga ada pertigaan jalan dengan tugu kecil di tengah-tengah yang agak membingungkan. Tidak ada marka jalan yang bisa memandu. Satu-satunya cara adalah bertanya. Ternyata jalan ke kanan adalah ke Jasinga sementara jalan ke kiri menuju Pongkor, salah satu tambang emas milik PT Aneka Tambang.
Untuk sampai di Ciampea, ternyata kita harus melewati gunung. Pemandangan di sini cukup indah, tetapi saya memilih untuk tidak berhenti karena saya menargetkan harus sudah masuk kapal Ferry sebelum pukul 11.00. Ternyata ada areal kelapa sawit PTPN juga yang dilewati. Di areal ini, saya juga sempat melihat tentara yang sedang berlatih perang lengkap dengan meriam.
Lepas dari perkebunan sawit, jalanan berbalik menjadi turun. Ada masa sekitar satu menit ketika saya bisa menetralkan transmisi dan berjalan dengan hanya dilayani gravitasi dan rem saja. Suasana mulai kembali menjadi ramai. rumah-rumah penduduk bisa ditemui di kiri dan kanan jalan, akhirnya sampai juga di Jasinga. Namun perjalanan masih jauh.
Setelah mengikuti jalan utama, selepas pasar Jasinga, ada pertigaan ke kanan menuju Tenjo. Ada sebuah marka jalan tua yang hurufnya sudah tidak terlalu jelas sebelum pertigaan ini. Perjalanan dilanjutkan dengan berbelok ke kanan, masuk ke jalan Letnan Sayuti. Ciri-ciri pangkal jalan ini ada sebuah tugu kecil dan pangkalan angkutan mobil suzuki carry plat hitam semacam angkot.
Jalan Letnan Sayuti sepi. Kanan kiri jalan kebanyakan adalah kebun milik warga. Sesekali pemukiman penduduk tampak, kemudian berganti kembali dengan kebun. Kondisi jalan menuju Tenjo agak membuat kesal. Sebenarnya jalanan cukup bagus, namun seringkali setelah sekitar 50 meter menjadi jelek tanpa bisa memilih-milih. 
Terus saja lalui jalan utama ini. Setelah beberapa saat, jalan akan melintasi perlintasan kereta api. Ketika saya melalui jalan ini minggu lalu, ada satu ruas jalan yang tidak bisa dilewati sehingga kendaraan roda dua terpaksa dibuang ke jalan tanah melintasi petak kebun milik orang.

Melintasi kebun warga. Untung gak becek.
Sekitar pukul 07.20, akhirnya kondisi jalan membaik dan melebar. Sampai satu persimpangan besar, terlihat papan marka jalan, yang menunjukkan arah kiri ke Serang dan kanan ke Serpong. Belok kiri, jalanan semakin nyaman. Nampaknya jalan ini baru diperbaiki. Jalanan mulus, membawa saya pada semacam bunderan. Saya tidak ingat persis keterangan marka jalan yang ada, tapi saya ambil ke arah kanan.
Terus terang, sebenarnya saya merasa agak tersesat di jalanan ini. Saya merasa jalan ini tidak lagi sesuai dengan petunjuk yang ada di Google Map. data odometer saya tidak lagi bisa memberi verifikasi apakah rute saya masih sesuai petunjuk Google Map atau tidak. praktis, kertas hasil print Google Map sudah tidak saya jadikan patokan lagi. Sempat terpikir untuk menggunakan panduan GPS yang tertanam di ponsel saya saja untuk melanjutkan perjalanan. Untungnya, suasana jalan sudah ramai. Ternyata saya berada di sekitar pusat pemerintahan Kabupaten Tangerang.
Saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan saya dengan terus menyusuri jalan yang bagus tersebut, akhirnya sekali lagi saya dihadapkan pada sebuah bunderan. Firasat saya mengatakan bahwa saya harusnya belok kiri ke arah Cikande, tapi saya tidak yakin. Akhirnya saya bertanya pada seorang tukang ojek yang sedang mangkal di situ. Dari keterangan beliau, saya disarankan ambil jalan ke kanan sampai sekitar 5 km. Di ujung jalan itu ada lampu lalu lintas. Sesuai dengan instruksi si abang ojek, saya ambil jalan ke kiri. Ternyata, jalan itu adalah jalan raya Serang. Tak lama dari lampu lintas tadi, ada marka jalan yang menunjukkan bahwa Serang masih berjarak 40 lagi dan Merak masih 75 km. Dari sini perjalanan sudah mudah menuju Serang.
Sesampai di tujuan, saya kembali mengecek odometer saya. Ternyata berdasarkan perhitungan odometer saya, ada selisih 8 km lebih jauh daripada yang tercantum di Google Map. Tidak terlalu meleset jauh untuk jarak yang demikian jauh. Margin error tidak sampai 10%. Dari yang tertera di odometer 121 km, sedangkan menurut perhitungan Google Map hanya 113 km. Namun untuk waktu tempuh, perkiraan Google Map ternyata meleset jauh sampai 2x. Menurut Google Map, waktu tempuh hanya 2 jam lebih sedikit, namun kenyataannya saya menghabiskan waktu sampai 4 jam (dengan sekali istirahat sekitar 15 menit). Bisa dimaklumi karena waktu tempuh memang sangat bergantung pada kecepatan masing-masing kendaraan. Sedangkan kecepatan masing-masing kendaraan sangat dipengaruhi berbagai hal mulai dari kondisi jalan, kepadatan jalan, dan konsentrasi pengemudi.

Selasa, November 08, 2011

Jarak Antara Syariat Islam dan Islami


Prof. Komarudin Hidayat sabtu lalu (5 Nov 2011) bikin tulisan di kompas dengan judul "Keislaman Indonesia". Beliau banyak ngutip tulisan "How Islamic are Islamic Countries", tulisan Rehman dan Askari yang dimuat di Global Economy Journal 2010 lalu. Intinya, ternyata Indonesia dan negara-negara OKI umumnya gak lebih Islami daripada negara-negara sekuler yang ada di eropa atau bahkan New Zealand sekalipun.

Sementara gerakan keislaman di Indonesia masih banyak menghabiskan tenaganya untuk melabeli hukum dengan nama "syariat islam", di luar sana, negara yang sekuler justru lebih bisa mengedepankan apa-apa yang disyariatkan oleh Islam tanpa ada label syariat atau bahkan mungkin tanpa pernah mendapatkan referensi mengenai syariat Islam tersebut. Ternyata masih ada jarak antara label syariat dan kehidupan Islami itu sendiri.

Tapi tentunya tetap menarik untuk menyimak kelanjutan Undang-Undang Zakat, Infaq, dan Shodaqoh yang baru saja disahkan DPR. Apakah infiltrasi syariat Islam ke dalam hukum positif Indonesia bisa berhasil atau tidak?

NB: Iseng-iseng, nemu spin off dari How Islamic are Islamic Countries yang lebih menitikberatkan pembahasan ke soal ekonomi, An Economic Islamicity Index. Tentunya sektor ekonomi yang dibahas di sini tidak terbatas hanya soal finansial yang sering menggempur konsep bunga (riba). Ada 12 area yang dijadikan parameter, mulai dari sistem finansial sampai ke pengembangan kemakmuran dan struktur sosial dalam upaya menjamin persamaan hak dalam mendapatkan kemakmuran, kesehatan, dan lain sebagainya.