Minggu, Januari 22, 2017

Pangkas Rambut

Sekitar tahun 2000, pertama kalinya Saya melihat tempat pangkas rambut dengan hiasan lampu silinder bercorak putih-biru-merah khas barbershop Eropa dan Amerika Serikat di dekat rumah. Sebagai orang yang masih berkewajiban memakai seragam putih-biru, memangkas rambut di tempat demikian tidak menjadi prioritas. Lebih baik uangnya ditabung untuk membeli pita kaset musik band terbaru.

Kisah potong rambut saya lebih banyak terjadi di tempat pangkas rambut biasa. Saya masih ingat tempat langganan saya ketika SD sampai SMA dulu. Sebuah bangunan kecil seukuran 3x5 meter persegi dengan pintu papan susun yang ditahan dengan sebilah palang. Kios ini biasa buka pukul 08.00. Kalau hari libur, beberapa orang biasanya sudah menunggu sebelum jam buka.

Berteman tumpukan lembaran harian poskota yang diantar tiap hari ke kios itu, orang-orang setia menunggu. Sampai akhirnya bapak pemilik kios ini datang dengan sepeda motor bututnya. Dibukanya pintu papan satu per satu. Lalu menyemburlah ratusan ekor nyamuk dari dalam. Kalau malam, tempat ini memang menjadi sarang nyamuk. Pernah beliau berkelakar, "kalau mau kurus, nginep aja semalem di sini."

Konsumennya sebagian besar anak sekolahan. Mereka yang merasa rambutnya sudah mulai tak sesuai dengan aturan sekolah. Mereka rela melewatkan Doraemon dan Dragonball demi menghindari gunting serampangan guru mereka yang rutin merazia rambut pada Senin, esok harinya lepas upacara bendera.

"Kumisnya gak sekalian dicukur?", kalimat canda ini selalu diulang bapak pencukur ini kepada saya tiap memangkas rambut. Canda belaka, karena sampai akhir SMA, saya memang tidak berkumis.

Kebiasaan bercukur di tempat pangkas rambut seadanya ini terus berlanjut meski saya berpindah-pindah kota. Saya merasa lebih nyaman memangkas rambut di tempat yang dikelola mandiri seperti ini. Pemangkas rambut, merangkap kasir, dan juga pembersih ruangan. Lengkap.

Sampai akhirnya sekitar tiga tahun lalu, mulai menjamur tempat pangkas rambut yang terlihat fancy. Desain interiornya diperhatikan dengan detail. Bukan hanya sekedar poster ragam model rambut dengan judul "Top Collection" yang dibiarkan tergantung bertahun-tahun sampai diliputi debu.

Seiring waktu, rasa penasaran untuk mencoba tempat pangkas rambut yang nyaman, ber-AC, dan sofa ruang tunggu makin meningkat. Ada satu pangkas rambut fancy seperti ini yang buka di dekat rumah ketika bulan puasa tahun lalu. Di depannya ada spanduk bertuliskan "RAMADHAN PROMO: 50% off every 02.00 - 04.00 PM." Melihat potongan harga yang lumayan, makin tertariklah saya. Sayang, sampai lebaran datang, rambut saya belum butuh dipangkas. Gugurlah keinginan mencoba tempat pangkas rambut tersebut dengan harga miring.

Dalam medio singkat semenjak lebaran tersebut sampai sekarang, makin menjamur tempat pangkas rambut keren di sekitar rumah saya. Terbit kembalilah rasa penasaran tersebut.  Mungkin menunggu di ruang yang nyaman tidak akan semembosankan di tempat saya biasa menunggu sambil mengipas-ngipas muka dengan lipatan koran bekas. Mungkin servis tambahan pijat di pangkas rambut keren itu lebih enak. Sampai akhirnya, saya memutuskan bahwa saya akan mencoba sensasinya.

Keputusan sudah dibuat, maka kaki pun melangkah. Dalam perjalanan menuju ke tempat pangkas rambut keren itu, tepat di seberang alfamart yang martabak di parkirannya sering dipanggang kelewat gosong, saya melihat tempat pangkas rambut old-skul mirip dengan yang biasa saya kunjungi ketika bersekolah dulu.  Dari dalam kios terdengar suara sember lagu yang berasal dari radio AM tua yang suaranya timbul tenggelam seiring angin yang berhembus. Ruangan 3x5 meter persegi dengan dua set bangku cukur lengkap dengan cerminnya. Dua set tempat cukur, namun hanya ada satu orang pemangkas rambut. Pemangkas rambut yang duduk setengah jongkok di depan kiosnya membaca koran lusuh. Pemangkas rambut yang tadinya bertandem dengan mertuanya di set tempat cukur sebelahnya.

Seketika itu juga saya mengubah tujuan saya. Tidak jadi pangkas rambut di tempat keren. Saya memutuskan memangkas rambut saya di tempat tersebut. Bukan karena kenyamanan yang ditawarkannya, tapi karena saya merasa inilah hal yang benar.

Lagian kalau dipikir-pikir, ngapain juga saya pangkas rambut di tempat yang kelewat keren. Memangnya saya presiden?