Kamis, Juli 16, 2009

saya mulai berpikir untuk mundur

ketika anda membaca tulisan ini, bisa dipastikan bahwa saat ini saya sudah tidak lagi berstatus sebagai mahasiswa. bukan hal besar, tapi apakah saya masih sebagai orang yang sama? itu adalah pertanyaannya.

tulisan ini saya buat di pinggiran kota bandung. di dalam sebuah kamar kecil, ketika mendung mulai mengarsir langit sore. saat tulisan ini dibuat, saya masih sedang berusaha menyelesaikan sisa tanggung jawab saya sebagai salah satu korban budaya feodal pendidikan yang bernama SEKOLAH dan KAMPUS. sebuah budaya yang sama sekali tidak saya suka. mungkin itu juga yang menjadi inhibitor kelulusan saya dari kampus. saya tidak akan memberikan argumen yang akan membenarkan kenapa masa pendidikan formal saya menjadi amat lama dengan hasil yang minim. terus terang saat ini saya sudah lelah jungkir balik untuk menuntut gelar ilmu.

saya hanya berandai-andai, apakah ketika tulisan ini anda baca, saya sudah bisa menikmati itu semua? apakah saya sudah bisa mencapai semua yang dulu pernah saya cita-citakan yang tergambar dalam sebuah plot besar idealisme saya. kalaupun memang belum, apakah saya masih bisa tetap bertapak di sisi yang semakin mengecil ini? apakah saya tetap bisa melangkah di sisi yang semakin sempit yang anginnya semakin kencang bertiup.

di penghujung satu fase masa pendidikan formal saya ini, saya mulai memikirkan satu tahun ke depan. di manakah saya satu tahun lagi? apa yang sedang saya lakukan? apakah hati saya masih tetap teguh meyakini dan membela apa yang selama ini saya bela dan yakini? apakah saya masih tetap memandang konsep kapitalisme, neo-liberalisme, pasar global, dan segala macam derivatnya sebagai perpanjangan tangan dari orang-orang rakus egois yang menggunakan kacamata kuda dan tidak peduli dengan orang lain di sekitarnya? atau justru saya tidak ubahnya laik mereka yang mengemis-ngemis pada kasta tertinggi konsep ini. mengemis untuk sebuah jaminan hidup yang akan baik, hidup yang nyaman, namun dengan jalan menggilas orang-orang yang pinggir dan semakin terdesak ke pinggir.

kapal saya sudah hampir berlabuh. semakin jelas daratan itu di hadapan saya. semakin gentar saya menatapnya. sungguh, hati kecil saya masih menolak untuk berdamai dan menyerah. saya ingin melawan semua yang saya anggap tidak benar, tapi saya juga merasa kecil. merasa tak berdaya. merasa lebih baik menyerah saja. merasa lebih baik menerima segala kemewahan yang bisa ditawarkan sebagai suatu anugerah. sebagai modal untuk membangun hidup yang baik, berkeluarga, membahagiakan orang tua, dan segala macam pembenaran dan pemaksaan yang dengan mudahnya bisa kita temukan. saya mulai berpikir untuk mundur, tidak lagi keras seperti karang yang menantang, tidak juga seperti bunglon yang membaur sembari menunggu mangsanya lengah. saya hanya ingin mundur.

bandung, 15 desember 2008