Rabu, Juli 02, 2014

Janji Joni, Janji Joko Anwar, dan Janji Joko Widodo

Karya pertama Joko Anwar sebagai sutradara film panjang adalah Janji Joni. Wajar jika Janji Joni disebut sebagai manifesto idealisme seorang Joko Anwar. Dalam film yang ringan namun sarat muatan ini Joko hendak mengungkapkan betapa agungnya sebuah janji. Seriusnya Joko memegang janji, sampai-sampai Ia rela bertelanjang bulat di salah satu gerai Circle-K Bintaro pada medio 2009 lalu. Bahkan sebagai bukti, Ia turut melampirkan foto aksi gilanya tersebut (walau sepertinya sekarang sudah dihapus).

Meskipun terbilang nekad, tidak sedikit pula orang yang mengapresiasi Joko Anwar karena mau menepati janjinya. Apalagi dalam kicauannya, Joko turut menyindir politisi-politisi yang kerap mengingkari janji yang sudah dibuat.

A promise is a promise, Mr. Politicians!
(Joko Anwar, 2009)

Waktu bergulir, 5 tahun berlalu. Sebuah acara skala nasional digelar, Pemilihan Presiden. Joko Anwar bersikap untuk mendukung calon presiden dengan nama depan yang sama dengan dirinya, Joko Widodo. Tidak ada yang salah dengan urusan dukung mendukung calon presiden. Semua punya kelebihan dan kekurangannya. Namun ada yang berubah pada Joko Anwar. Jika sebelumnya Joko Anwar tampil sebagai sosok yang begitu menjunjung sebuah janji, kini Joko Anwar justru memberikan pembelaan atas janji yang diingkari.

Menanggapi tudingan Joko Widodo yang mengingkari janji, Joko Anwar justru memberi pembenaran. Tidak ada lagi Joko Anwar yang dengan gagah berkata, “A promise is a promise, Mr. Politicians!


Gini. Janji apapun itu, apalagi janji politik, harus kalah demi kepentingan nasional. Jadi udah deh. Tuduhan gak nepatin janji itu lemah.
(Joko Anwar, 2014)

Sekali lagi, tidak salah mendukung Joko Widodo untuk menjadi presiden. Namun sikap ambivalen Joko Anwar patut dikritisi. Jika hari ini Joko Anwar mentolerir ingkar janjinya seseorang, bukan tidak mungkin di kemudian hari Joko Anwar akan mentolerir penyalahgunaan wewenang dengan dalih “for a greater good”. Joko Anwar harus diingatkan. Bukan diingatkan untuk tidak mengkampanyekan Joko Widodo, namun diingatkan untuk tidak membenarkan perbuatan yang salah.

Mendiamkan ingkar janjinya Joko Widodo mungkin lebih baik daripada membenarkannya. Harusnya Joko Anwar tetap bisa kritis walau mengkampanyekan Joko Widodo. Pandji Pragiwaksono yang juga mengkampanyekan Joko Widodo saja bisa tetap bersikap kritis dengan menolak ide Jusuf Kalla, pasangan Joko Widodo.

Perubahan sikap Joko Anwar tidak ekslusif ada pada dirinya. Kecenderungan seperti ini selalu ada di sekitar kita, bahkan dalam diri kita. Sejarah mencatat Soekarno hancur karena sikap-sikap kritis pada dirinya diberangus. Soeharto pun runtuh karena sikap kritis orang-orang di sekitarnya hilang. Jangan sampai sikap kritis dimatikan oleh pengkultusan.