Selasa, Januari 13, 2009

kita pun tak lebih baik dari mereka yang kita kutuk...

seorang pria lari ke arah gue. di belakangnya ada beberapa orang lain yang juga ikutan lari. semakin deket ke gue, jarak antara orang di depan dengan orang-orang di belakangnya semakin deket. dan ketika jarak si pria itu tinggal sekitar dua langkah dari gue, tiba-tiba dia ditinju dari belakang oleh orang-orang yang lari di belakangnya. tauknya orang itu adalah pengutil yang ketauan lagi mau maling di mini market di sekitar situ. gue yang cuma berjarak dua langkah langsung berusaha untuk ngelindungin si maling dari hajaran massa. gue bilang, "udah pak! jangan digebukin! dibawa ke kantor polisi aja!" orang-orang yang tadinya asyik ngegebukin emang berenti mukulin, tapi bukannya dibawa ke kantor polisi, si pengutil itu justru dibawa ke dalem kantor lurah. di dalem kantor lurah itu dia digebukin lagi deh.

apa si pengutil bisa disalahin gitu aja, terus dihakimin kayak begitu? gue rasa jawabannya nggak. bisa aja kalo si pengutil itu ngelakuin kegiatan ngutil karena terpaksa. bisa aja kalo dulunya dia punya usaha warung kaki lima kecil-kecilan, tapi terus gak bisa dilanjutin lagi karena tempat usahanya digusur. digusur karena bakal dibangun hypermarket yang bisa jualan beribu-ribu kali lebih besar kapasitasnya dibandingin dia. keadaanlah yang ngebuat dia harus ngutil ke minimarket. minimarket yang notabene adalah makhluk dari spesies yang sama dengan hypermarket. hanya ukuranlah yang membedakannya. mengutil ke minimarket buat si pengutil berarti dua hal. yang pertama adalah untuk menyambung remah di mulut dia dan keluarganya. yang kedua adalah sebagai bentuk pengambilan haknya yang telah dirampas oleh sebuah sistem yang menaungi makmurnya pengusaha berbagai ukuran, mulai dari hypermarket sampai minimarket.

mungkin sama juga seperti HAMAS yang ngerusak gencatan senjata dengan nembakin roket-roket ke arah Israel? Palestina yang wilayahnya semakin hari semakin menciut merasa gerah. hak mereka yang secara sistematis terkebiri membuat mereka melakukan perlawanan. ketika "warung kaki lima" palestina sedikit-sedikit dikonversi menjadi "hypermarket" Israel, maka HAMAS yang mewakili Palestina merasa perlu untuk "mengutil" dari daerah yang harusnya menjadi haknya.

lalu apa yang dilakukan Israel? merasa kedaulatannya terganggu, tentunya mereka akan berusaha menangkap setiap pelaku penembak roket. dibantu dengan dukungan sekutu-sekutunya "pengutil-pengutil" itu dikejar. setelah tertangkap, bukannya di bawa ke "polisi" yang bernama mahkamah internasional, mereka merasa lebih baik kalau masalah ini mereka selesaikan sendiri. "gebukin rame-rame" pake serangan udara, darat, bom fosfor, dan semua yang menakutkan lainnya.

di tengah pemberitaan mengenai masalah timur-tengah yang sama sekali gak berimbang saat ini, gue rasa sangat perlu bagi kita untuk memahami keadaan kedua belah pihak. perlu banget buat kita berempati gak cuma ke warga palestina, tapi juga berempati ke pihak Israel. tak sudikah anda ketika membaca tulisan saya untuk berempati ke Israel? merasa terlecehkankah anda? apakah penilaian anda sudah terganggu dengan segala macam stereotipe yang selama ini tercetak melalui sejarah, berita, atau bahkan ayat-ayat di kitab suci yang telah diartikan sedemikian rupa untuk membakar api permusuhan?

gue rasa analogi pengutil dan warga yang menghakimi sendiri si pengutil tadi sudah mendekati kenyataan yang ada di timur tengah. siapakah yang salah? apakah pengutil atau warga? dua-duanya bisa disalahkan. dan di saat yang sama, tindakan keduanya juga bisa dimaklumi.

tulisan ini nggak ditujukan untuk membenarkan tindakan Israel, tapi gak juga untuk ngedukung HAMAS untuk ngerusak kesepakatan damai. bahkan sebenernya gue gak bikin tulisan ini untuk ngebahas masalah timur tengah. hahaha...

gue justru jadi tertarik dengan fakta bahwa, di tengah kecaman rakyat indonesia atas aksi biadab Israel, rakyat indonesia pun masih ada yang sama kejemnya dengan israel. maen hakim sendiri, gebukin maling dengan berlebihan. sudah kehilangan nuranikah dunia ini? apakah orang salah nggak bisa dibuat sadar dengan cara yang santun dan damai? saya cuma ingin ngungkap satu fakta mengerikan dan menyedihkan, bahwa masih ada saudara sebangsa kita ini, dan jumlahnya juga gak sedikit, yang ternyata gak lebih baik dari Israel.

Mercy Corps: donate now to help us provide humanitarian relief items for families besieged by the military action in Gaza.

Senin, Januari 05, 2009

The Prestige: ambisi yang menghancurkan

jangan heran kalo akhir-akhir ini dan beberapa tulisan gue ke depan bakal berkisar soal film. tadinya gue mau bikin blog yang gue khususin untuk rekomendasi film, musik, tempat nongkrong (cem yang biasa nongkrong aja kau ni...), atau apalah. tapi setelah gue pikir-pikir, mending konsentrasi di satu blog ini aja daripada harus memecah crowd. ha ha ha... jadi materi-materi yang udah gue kumpulin buat blog yang yang kemaren bakalan gue obral di sini aja.

gue di sini bukan sebagai resensator (istilah buat orang yang bikin resensi itu apa sih? sementara kita pake istilah resensator ajalah, ok?), jadi gue cuma bakal menarik pelajaran-pelajaran yang cukup menarik dari film ini.

oke, ada satu film spesial yang cukup berkesan di hati gue yang kebetulan gue dapetin dengan harga diskonan di counter film gramedia. judulnya adalah THE PRESTIGE.

film ini menceritakan tentang persaingan dua pesulap muda yang ambisius. saling berusaha ngebongkar trik saingannya. selalu berusaha untuk lebih unggul daripada yang lainnya. dua pesulap ambisius yang saling mengalahkan dan pada akhirnya selalu berakhir pada kekalahan diri mereka sendiri.

kalo lo sering denger ato ngeliat gue ngutip kalimat oscar wilde dari buku dia "the picture of dorian grey" yang bunyinya, "ambition is the last refugee of failure," rasanya film ini juga punya moral yang sama. ambisi yang berlebihan cuman bakal ngebawa kehancuran buat kita.

ada satu kutipan menarik di film ini, "obsessions is young man's game." darah muda, minjem istilah bang roma irama, adalah darah yang paling rentan untuk terjebak dalam obsesi. terpaku pada satu tujuan yang sebenernya cuma bakal ngebuat dia lalai akan hal-hal lain yang sebenernya udah dia milikin dan patut buat disyukuri. obsesi ini yang ngebuat dua pesulap muda lupa bahwa sebenernya mereka udah memiliki lebih dari cukup daripada harus mempertaruhkan lebih banyak hal lagi. dan parahnya lagi, kekalahan dari pertaruhan mereka nggak ngebuat mereka sadar, tapi justru ngebuat mereka makin tenggelam dalam persaingan yang ngebuat mereka semakin banyak kalah sampai mereka bener-bener hampir kehilangan semuanya.

ide cerita film yang diangkat dari novel ini sebenernya biasa aja. tapi, cara bertuturnya bener-bener ngebuat gue tercengang. alur maju mundur, mungkin gak bakal disukain sama beberapa penikmat film yang punya visi bahwa: nonton adalah hiburan, jadi jangan buat kami capek mikir. tapi buat yang suka dengan keindahan bertutur, gue rasa film ini cukup berhasil dengan indah ngerangkai tautan antar kejadian di masa yang udah lewat dan masa yang akan datang.

ending cerita yang fantastis juga ngebuat film ini bener-bener ngebekas di hati gue (halah... lebay...). ending ini bener-bener sebuah the prestige dari film ini yang nerapin filosofi pertunjukan sulap, bahwa harus ada tiga bagian di dalam pertunjukan untuk memukau penonton: the pledge (bagian basa-basi), the turn (ketika sesuatu yang biasa berubah menjadi luar biasa), dan the prestige (akhiran yang membuat orang berdecak kagum)...

Pagar

ada banyak banget pager di sekitar kita. sampe-sampe orang demo pun dihalangin pake pager kawat berduri yang dilapis pake pager polisi anti huru-hara (PHH; bukan pasukan haha-hihi) dan masih dilapis lagi dengan pager yang laen. semua itu tujuannya cuma satu. biar wilayah yang dijaga gak diterobos sama demonstran.

beralih ke laen cerita, gue baru aja pergi ke tempat yang udah agak lama gak gue kunjungin. gue agak bingung dengan tempat itu, karena gak serame dulu. biasanya dulu banyak orang jualan di taman kecil yang memanjang antara trotoar dan jalan aspal. tapi sekarang pedagang-pedagang itu udah gak ada. gak ada lagi karena sekarang taman yang memanjang itu udah dipagerin. sebenernya, ada ataupun gak ada pager mustinya pedagang-pedagang itu tau, bahwa taman itu gak boleh ditempatin untuk dagang.

kalo kita liat perumahan di negara-negara yang udah maju, jarang ada rumah yang make pager. biasanya rumah cuma dibatesin halaman aja untuk sampe ke jalan aspal, tanpa embel-embel pager. beda banget dengan di indonesia. kalo ada rumah yang gak pake pager justru rasanya aneh. udah ada pager pun masih harus digembok tiap malem biar gak ada maling.

sadar ato gak, banyak hal yang bisa diindikasiin dari kehadiran (atau ketidakhadiran) sebuah pagar. kehadiran pagar mengindikasikan bahwa daerah itu rawan terhadap pelanggaran, baik itu pelanggaran sosial ataupun pelanggaran terhadap hukum positif.

terus kemudian pertanyaannya adalah apakah pager itu jelek? kalo gue bilang sih ya nggak juga. pager itu cuma sebagai indikator, sekaligus alat kontrol sosial. pager cuma sebagai akibat, bukan sebagai sebab. memang ada daerah-daerah yang harus dipagerin, ada juga juga daerah-daerah yang gak ngebutuhin pager, karena kesadaran komunitas di dalemnya udah cukup bagus.

pager gak cuma terwujud di dalem bentuk fisik batang-batang besi atau bambu, atau tanaman yang dibentuk memanjang. pagar pun ada yang tidak mewujud secara kasat mata. salah satunya adalah lembaga sensor film di indonesia. saat ini sineas-sineas muda kita sedang berusaha membubarkan segala bentuk penyensoran untuk film yang beredar di masyarakat. sineas-sineas ini memberikan ide untuk sekedar memberikan rating pada film-film yang beredar berdasarkan umur (contoh: film untuk semua umur, untuk remaja (13+), untuk dewasa (21+)).

pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah jika memang pagar sensor ini dicabut akan ada jaminan bahwa tidak akan ada pelanggaran batas wilayah oleh orang-orang yang ada di dalamnya. apakah akan ada jaminan seorang anak SMP tidak akan diizinkan oleh penjaga bioskop untuk membeli tiket film yang bukan masuk ke golongan umurnya? apakah ada jaminan bahwa tukang rental DVD bakalan cuma mau minjemin film dewasa ke orang yang dewasa? apakah kita yakin bahwa gak bakalan ada "pedagang" usil yang "jualan" di "taman" yang bukan pertanyaan-pertanyaan di atas tentunya harus bisa dijawab dulu, sebelum kita memutuskan untuk mencabut pagar.

Jumat, Januari 02, 2009

THE KINGDOM: bukan sekedar tentang perlawanan terhadap teroris Arab

sebut satu judul film holywood yang mengangkat tema tentang teroris arab, maka kemungkinan besar saya akan bilang film itu adalah SAMPAH. tapi berbeda dengan film THE KINGDOM.

buat saya, inti dari film ada di dalam ceritanya, dan saya harus memberikan apresiasi setinggi-tingginya untuk film ini. yang pertama, aksi terorisme yang dilakuin di film ini bener-bener brilian! sangat brilian! teroris arab di film ini bukan cuma sekedar make rompi bom terus lari-lari di tengah orang buat ngebom ato nabrakin mobil yang penuh dengan C4 ke gedung, tapi mereka pake taktik. bener-bener keren!

terlepas dari aksi kebut-kebutan mobil pengawal dan ledakan-ledakan bom, saya ngeliat kalo jiwa film ini justru adalah soal humanisme. kalo di film-film teroris arab biasanya kita disuguhin aksi heroik orang-orang amerika, hegemoni amerika, kedigdayaan amerika, maka di film ini semua dibuat seimbang. film ini emang bukan dibuat untuk meng-counter film-film teroris yang temanya mainstream seperti yang udah saya sebutin di atas, tapi saya yakin kalo film ini dibuat dengan sangat berimbang. bahwa kebencian dan ketakutan orang-orang amerika terhadap orang arab sama dengan kebencian masyarakat islam terutama yang tinggal di jazirah arab terhadap amerika. hal ini dengan sangat indah tertuang di dalam adegan ketika Abu Hamzah (pimpinan teroris) membisikkan kata-kata kepada cucunya yang kemudian dibandingkan dengan adegan ketika Jamie Foxx membisikkan kata-kata penghibur ke Jennifer Garner. sebuah adegan yang membuat skor menjadi 1-1 baik untuk sang teroris maupun untuk tim anti-teroris.

kekuatan laen di film ini juga ditunjukin oleh lakon seorang polisi arab yang ngebantu jamie foxx selama di Arab (sial... gue lupa namanya...). lakon ini megang peran yang amat penting untuk menunjukkan kepada dunia bahwa arab (dan Islam tentunya) tidak selalu tentang keangkuhan, kemewahan, korupnya, dan segala hal buruk lainnya yang selalu ditunjukkan oleh keluarga Istana Saud, dan juga tidak selalu tentang kerasnya pejuang-pejuang Islam ala HAMAS, Al-Qaeda, dan gerakan-gerakan intifada lainnya. warna-warni arab digambarkan dengan indah di dalam film ini.

akhir kata dari cuap-cuap saya tentang film ini adalah bahwa The Kingdom bukan sekedar tentang perlawanan amerika terhadap teroris Arab, tetapi film ini adalah sebuah cermin bagi rakyat amerika. sebuah cermin yang ditaruh dengan samar karena tujuannya bukan untuk menghakimi, tapi untuk memberikan hikmah bagi mereka yang mau menilai dari garis tengah.