Kamis, Juli 26, 2012

Memahami #SaveMaryam


20 Juni 2012, bertepatan dengan 1 Ramadhan 1433 H, sebuah kampanye sekaligus propaganda di-launching. Tema yang mengambil gaya penulisan social media itu diberi nama #SaveMaryam.
#SaveMaryam adalah sebuah gerakan penyadaran kepada Muslim di dunia mengenai betapa jumlah Muslim di negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia saat ini, Indonesia, menurun dengan drastis. MercyMission, organisasi yang menaungi gerakan ini memaparkan data bahwa setidaknya ada 2 juta Muslim yang dikonversi ke agama lain tiap tahunnya di Indonesia. Terlepas dari keshahihan angka 2 juta dan siapa sebenarnya orang di balik #SaveMaryam dan MercyMission, menarik juga untuk menyimak video viral yang disiapkan oleh mereka mengenai modus operandi kristenisasi di Indonesia.
Kontroversi segera muncul atas tuduhan kristenisasi yang dilayangkan organisasi yang berbasis di Inggris ini. Di kelompok Islam, kampanye ini memunculkan kegusaran, apalagi di momen Ramadhan saat ini, isu apapun yang berbau Islam sangat mudah mencuri perhatian. Apalagi kiprah Mercy Mission belum terlalu dikenal oleh aktivis Islam Indonesia.
Kalangan kristen pun tak kalah gusar, beberapa orang menampik isu kristenisasi. Menurut mereka, kristenisasi adalah omong kosong, karena proses untuk menjadi kristen tidaklah semudah membalik telapak tangan.
Menjadi kristen itu ga cuma ngucap dua kalimat. 
Isu kristenisasi adalah barang lama. Sejak berpuluh-puluh tahun kita sudah mendengar isu ini yang kemudian mengemuka dalam kalimat satir “Akidah ditukar Indomie”, merujuk pada bantuan mie instan yang disusupi agenda kristenisasi. Tetapi, apakah memang benar kristenisasi itu ada?
Saya sendiri pernah melihat langsung upaya kristenisasi (setidaknya kristenisasi menurut pemahaman saya) pada korban gempa Jogja medio 2006 lalu. Sambil menyalurkan bantuan kemanusiaan, beberapa organisasi kemanusiaan menyusupkan agenda pengenalan Kristen dan Yesus, terutama kepada anak-anak.
Dengan memamerkan kalung salib, puji-pujian kepada Yesus, dan berbagai gimmick lain, organisasi-organisasi ini berupaya mengenalkan agama kristen kepada anak-anak. Sesuatu yang dinilai provokatif oleh beberapa orang Islam.

Data Upaya Konversi Umat Islam Selama Pemulihan Aceh Pasca Gempa

Setiap manusia memiliki visi dan misi masing-masing di dunia. Terkadang kita memiliki visi yang sama tapi misi yang dijalankan berbeda. Di lain kesempatan kita juga bertemu dengan orang-orang yang memiliki misi yang sama dengan kita meskipun visinya berbeda. Irisan-irisan seperti ini lumrah saja terjadi.
Saya tidak menyangsikan kesungguhan dan ketulusan organisasi-organisasi yang dituding melakukan kristenisasi semacam HOPE, International Organization for Migration, dan Save The Children dalam membantu korban bencana alam. Sama saja dengan Bulan Sabit Merah Indonesia (Tandingan Palang Merah yang sarat akan agenda Islam), semua organisasi tersebut memiliki misi yang sama, kemanusiaan. Perbedaan yang ada hanyalah pada visinya, mengenai ideologi yang diusungnya. Harusnya terang-terangan saja mengakui bahwa memang ada upaya kristenisasi dari kaum Kristen, karena begitu pula di Islam pun ada upaya Islamisasi. Selanjutnya, meskipun ada "kompetisi" dalam meraih pengikut, bukan berarti kemudian perlu jadi bermusuhan. Persaingan sebaiknya tidak dilakukan dengan mengintimidasi pihak lain, namun dengan mempromosikan keunggulan masing-masing.
Pemaparan fakta yang dilakukan #SaveMaryam ditanggapi beragam oleh kaum muslim di Indonesia. Sayangnya yang lebih sering muncul ke permukaan kemudian adalah ketakutan dan kebencian kepada kaum kristen. Padahal kalau dipikir, berusaha menambah jumlah pengikut agamanya masing-masing adalah hal yang wajar-wajar saja. Orang Islam pun akan semakin senang jika pengikutnya bertambah.
#SaveMaryam tidak sedang mengagitasi umat kristen dengan kristenisasinya. #SaveMaryam justru sedang melakukan otokritik kepada umat Islam. #SaveMaryam percaya bahwa kristenisasi di Indonesia berhasil bukan karena usaha keras dari umat kristen itu sendiri, melainkan karena abainya umat Islam dalam membina akidah.
We also believe violence in this matter occurs when there is too much focus on Christians and what they are doing. We need to shift our focus to Muslims and their needs instead, ensuring they are more knowledgeables and confident about their religion and have the services they need to lead dignified lives under Islam. - #SaveMaryam
Ketimbang menyebar kebencian, #SaveMaryam lebih memilih untuk membina umat. Mereka telah memiliki rencana jangka panjang untuk 25 tahun ke depan. Dalam waktu dekat, target mereka adalah mendirikan stasiun TV Islam dan hotline telepon untuk membantu komunitas. #SaveMaryam mengajak umat Islam untuk sadar bahwa untuk memenangkan pertarungan, yang harus ditundukkan bukanlah orang-orang kristen, melainkan diri mereka sendiri.
Ironis, ketika Umat Islam risau dengan murtadnya umat melalui kristenisasi, tapi justru mudah mengkafirkan JIL, Syiah, dan Ahmadiyah. Bukannya membina tapi malah mengintimidasi.

Minggu, Juli 22, 2012

[Review] Taring: Jurus Lama Seringai


Artis: Seringai (Arian13, Ricky Siahaan, Sammy Bramantyo, Khemod)

Lagu:
1. Canis Dirus
2. Dilarang di Bandung
3. Taring
4. Fett, Sang Pemburu
5. Tragedi
6. Serenada Membekukan Api
7. Discotheque
8. Program Party Seringai
9. Lagu Lama
10. Lissoi
11. Infiltrasi
12. Gaza

Di dekat tempat saya tinggal ada satu pedagang nasi, mie, kwetiaw, dan bihun goreng. Meskipun masakannya enak, tapi aneh. Rasa semua masakannya sama. Jadi baik nasi goreng, mie goreng, kwetiaw goreng atau bihun goreng rasanya sama, hanya beda bahan utamanya saja.
Hal yang sama ditawarkan Seringai melalui album terakhirnya, Taring. Agak malas rasanya untuk mengupas masing-masing lagu di album ini karena memang terdengar senada dan seirama. Sebagai sebuah album, Taring gagal memainkan pace bagi pendengarnya. Riff-riff gitar yang sudah sangat kental sebagai ciri khas dan dibalut dengan “paduan suara” di beberapa titik menjadi jurus yang selalu diulang-ulang di hampir semua lagu. Ya, hampir semua lagu kecuali lagu Canis Dirus dan Gaza, itupun lebih karena kedua lagu itu hanya memainkan instrumentalia yang justru menjadi 8 menit 25 detik paling menyegarkan di album ini.
Menggunakan “paduan suara” di beberapa titik lagu sejatinya adalah senjata ampuh yang dapat dijadikan sebagai cue bagi penonton untuk sing along ketika band tampil live. Tapi ketika semua lagu menggunakan senjata yang sama, yang ada justru rasa jenuh di telinga. Apalagi jurus ini pun sudah dipakai di album Seringai sebelumnya. Anti-klimaks dari “penyalahgunaan paduan suara” ini ada di lagu Lissoi. Mendengarkan lagu berbahasa batak yang dinyanyikan secara koor dengan hanya disertai gitar kopong dan kecrekan ini membawa otak saya untuk membayangkan sekumpulan pemuda tanggung pengangguran setengah mabuk yang sedang bernyanyi-nyanyi menghabiskan waktu di pos ronda. Sungguh sebuah aransemen yang amat buruk.
Lalu apakah hal ini membuat album ini menjadi buruk? Jawabannya adalah tergantung. Jika Anda sudah terlanjur menjadi korban gigitan taring dari para serigala militia ini, maka album ini setidaknya akan menemui ekspektasi Anda, meskipun rasanya tidak akan lebih dari itu. Namun bagi mereka yang merasa hidupnya terlalu singkat untuk mendengarkan repetisi yang hanya berganti judul, maka album ini rasanya akan mengakhiri hidupnya pada siklus putaran CD ke-5.
Di awal kemunculannya, Seringai membawa angin baru di industri musik Indonesia. Sepak terjang mereka terus terang mengingatkan saya akan Metallica di awal 90-an (atau akhir 80-an ya?) yang mampu meracik metal yang ear-friendly bagi orang kebanyakan.
Untuk mereka yang baru mengenal Seringai, Taring memang cukup menjanjikan. Tapi untuk mereka yang sudah mengekori kiprah Seringai, album ini berakhir dalam penilaian biasa-biasa saja. Miskinnya inovasi di album Taring membuat Seringai menjadi stagnan sehingga musik mereka menjadi sangat mudah untuk diprediksi.
Tapi terus terang, saya tidak tidak tega juga untuk menyelesaikan review ini tanpa setidaknya sedikit memuji kerja keras pahlawan musik keras Indonesia ini. Kalau boleh ada yang diandalkan dari Taring adalah artwork CD mereka yang amat bagus. Jika musisi ingin pendengarnya tetap membeli karyanya dalam bentuk fisik, bolehlah rasanya mengimitasi usaha Arian13 dalam mengerjakan booklet Taring. Pilihan gambar yang pas, disertai pilihan kombinasi warna font dan latar yang tepat membuat booklet Taring terasa lebih nyaman dibaca dibandingkan dengan booklet album mereka yang sebelumnya, Serigala Militia.
Tidak hanya memperhatikan estetika, konten booklet ini juga tidak hanya berisi ucapan terima kasih, halaman kredit, dan lirik-lirik lagu. Selain tiga konten utama yang sudah biasa kita temui di album musisi-musisi lain itu, kita juga akan disuguhi semacam komentar singkat dari beberapa personil Seringai mengenai masing-masing lagu. Hal yang sama juga sudah mereka lakukan di album sebelumnya. Melalui insight semacam ini kita menjadi tahu latar belakang mengapa sebuah tema diangkat menjadi lagu. Melalui komentar-komentar ini pula kemudian kita (setidaknya Saya) menjadi tahu bahwa, dalam lagu Tragedi, mereka sebal dengan Tifatul Sembiring bukan karena beliau mempercayai adanya korelasi positif antara akhlak buruk dan bencana alam, namun karena Tifatul tidak menggunakan empatinya ketika berkomentar di depan para korban bencana alam. Sesuatu yang rasanya sulit untuk dapat ditangkap dengan hanya membaca lirik lagu saja.
Pilihan tema untuk membangun lirik album Taring kebanyakan masih sama dengan album-album mereka sebelumnya. Tema-tema sosial seperti Lagu Lama dan Serenada Membekukan Api yang mengutarakan ketidaksetujuan mereka akan RUU anti-pornografi (duh, Tifatul lagi kena!) dan tema-tema yang berkaitan dengan skena musik non-arus utama seperti pada lagu Dilarang di Bandung dan Infiltrasi masih mendominasi.
“Pada saat penyusunan album ini, kami sempat berdiskusi tentang topik yang akan diangkat. Seperti apa fenomena sosial yang muncul dalam 5 tahun ke belakang. Ternyata, topik-topik ini sudah kami bahas di album sebelumnya! 5 tahun berlalu, masalahnya masih juga sama. Intoleransi beragama, kekerasan aparat, korupsi, dan lainnya. Ternyata kita stagnan. Rasanya seperti menyanyikan lagu lama yang masih kontekstual hingga saat ini.” – Edy Khemod
Komentar Edy Khemod yang mengantar judul Lagu Lama di dalam booklet menjadi petunjuk bahwa bangsa ini tidak bergerak terlalu jauh dalam lima tahun ke belakang. Ironisnya, Seringai pun ternyata tidak bergerak terlalu banyak dalam lima tahun ini. Bagaimana mungkin mengharapkan perubahan jika masih menggunakan senjata yang sama? Seringai jelas perlu taring baru untuk album ke depan atau nasib mereka akan seperti serigala purba Canis Dirus, punah.

Rabu, Juli 18, 2012

Bahasa Indonesia: Apa-Apa yang Belum Selesai Darinya

Tugas bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa yang sempurna belum tuntas. Masih banyak hal-hal yang harus diputuskan mana yang benar. Kalaupun sudah benar, masih harus dipromosikan untuk digunakan oleh semua kalangan.


Namun sayangnya bahasa Indonesia semakin hari justru semakin rusak. Inkonsistensi pemakai bahasa Indonesia menjadi penyebab utamanya. Padahal secara struktur kalimat, bahasa Indonesia sudah amat baik. Hal ini amat penting, karena semakin baik struktur kalimat, semakin jarang ditemui kalimat-kalimat ambigu.


Struktur Kalimat yang Baik


Struktur kalimat yang baik ditopang dari jelasnya pemisahan antara masing-masing komponen kalimat. Bukan hanya subyek, predikat, obyek, dan keterangan dapat dipisahkan dengan jelas, namun juga antara komponen yang setara. Misalnya pada kalimat yang memiliki subyek atau obyek jamak. Sayangnya, kini seringkali kita jumpai kalimat yang tidak tepat penulisannya di ruang-ruang publik atau bahkan di media cetak atau maya.
Rusdi harus rela kehilangan dompet, uang serta ponsel.
Banyak sekali orang menuliskan kalimat seperti di atas. Padahal kalimat tersebut salah. Struktur kalimat ini memang seringkali ditemui di dalam kalimat bahasa Inggris, entah benar atau tidak. Tapi yang jelas, dalam struktur kalimat Bahasa Indonesia, penulisan tersebut adalah keliru.
Sekarang mari kita penggal komponen kalimat tersebut.
Rusdi = Subyek
harus rela kehilangan = Predikat
dompet = Obyek I
uang = Obyek II
serta ponsel = Obyek III.


Kalimat ini adalah kalimat majemuk setara dengan tiga obyek. Karena subyek dan predikatnya sama, maka kedua komponen tersebut melebur dan menyisakan tiga obyek di belakang yang harus dipisahkan dengan tanda baca koma (","). Kata sambung "serta" hanya digunakan untuk menandakan bahwa kalimat telah mencapai obyek terakhir dan tidak membuat tanda koma sebelum kata "serta" menjadi hilang. Maka penulisan yang benar adalah:
Rusdi harus rela kehilangan dompet, uang, dan ponsel.
Pemakaian tanda koma ini penting untuk menghindari struktur kalimat aneh apabila obyek kalimatnya adalah pasangan. Contoh kalimat nyeleneh yang saya maksud adalah sebagai berikut:
Pesta ini dihadiri oleh pasangan Tarzan dan Jane, Windu dan Devina serta Johan dan Erni.
Kalimat tersebut menjadi berantakan di bagian akhir karena ada banyak kata sambung yang tidak jelas pemenggalannya. Kata sambung "serta" tidak dapat menggantikan tanda baca koma (",") untuk memisahkan antara masing-masing komponen kalimat. Tanda koma (",") penting untuk memisahkan antar pasangan. 
Pesta ini dihadiri oleh pasangan Tarzan dan Jane, Windu dan Devina, serta Johan dan Erni.


Kejanggalan dalam bahasa Indonesia


Meskipun secara struktur kalimat sudah baik, namun bahasa Indonesia masih banyak memiliki kejanggalan yang lazim kita temui dalam percakapan sehari-hari. 
Siapa nama kamu?
Berapa nomor telepon kamu?
Dua kalimat di atas adalah salah satu contoh kalimat yang sebenarnya janggal namun lazim diucapkan. Kalimat pertama menggunakan kata tanya "siapa" untuk menanyakan nama. Sebenarnya lebih tepat menggunakan kata "apa", karena nama adalah benda, bukan orang. Jika ingin menggunakan kata tanya "siapa" maka kalimatnya cukup menjadi:
Siapa Kamu?
 atau
Apa Nama Kamu
Kalimat kedua juga janggal karena menggunakan kata tanya "berapa" untuk menanyakan nomor telepon. Sebenarnya tidak salah jika kemudian dijawab dengan jumlah nomor telepon yang dimiliki, seperti: 
Saya punya 2 buah nomor telepon.
Namun tentu bukan itu yang dimaksud dengan pertanyaan di atas. Fungsi kata tanya "berapa" digunakan untuk menanyakan jumlah. Sedangkan nomor telepon yang dimaksud adalah sebagai sebuah identitas, bukan sebagai jumlah. Maka kalimat yang lebih tepat adalah:
Apa nomor telepon kamu?
Merasa aneh? Mari kita bandingkan padanan dua kalimat tersebut di atas dengan bahasa Inggris. Kejanggalan dua kalimat tersebut tidak ditemukan di bahasa Inggris. 
What is your name?
What is your number?
Dalam bahasa inggris, kata tanya yang digunakan adalah "what" bukan "who" atau "how much". Dalam hal ini, bahasa Indonesia memang ketinggalan. Perlu ada evaluasi dari ahli bahasa untuk mengubah kebiasaan yang sebenarnya salah ini. Namun evaluasi saja hanyalah hal yang sepele. Permasalahan yang kemudian akan terbuka adalah bagaimana mempromosikan penggunaan kata yang benar ini.


Media Massa dan Bahasa Mereka (yang Seenaknya Saja)


Media massa, sebagai pengguna utama bahasa tulisan, sejatinya memegang tanggung jawab moral yang amat berat dalam menjaga kesahihan bahasa Indonesia. Celakanya, yang terjadi justru sebaliknya.


Tidak jarang media massa menggunakan kata yang tidak sesuai dengan maknya. Contoh yang paling mudah adalah "alih-alih". Media kebanyakan mengartikan "alih-alih" sebagai "jangankan" atau "bukannya". Contoh kalimatnya adalah:
Alih-alih turut serta memberantas korupsi, Presiden justru terkesan membiarkannya.
Penggunaan kata alih-alih sudah sedemikian massifnya, hingga semua orang pun kini "sepakat" memang seperti itulah arti kata "alih-alih".  Padahal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti dari "alih-alih" adalah sebagai berikut:
alih-alih p 1 dengan tidak disangka-sangka 2 kiranya: disangkanya sudah pergi, -- masih tidur
Seakan tidak cukup "memberi" arti baru pada kata yang jarang digunakan, media massa juga merasa perlu merubah kata yang sebenarnya sudah tepat menjadi bentuk baru. Selama ini, kita sudah sepakat bahwa kata yang benar adalah "pembalap", namun media massa merasa perlu mengubahnya menjadi "pebalap". Pergeseran bentuk kata ini bahkan terjadi di media massa besar seperti pada tautan yang tersemat pada kompas.com, republika.co.id, tempo.co, dan detik.com.


Entah bagaimana wartawan dan redaktur-redaktur di media massa mendapat ide gila tersebut. Merujuk pada KBBI pun sudah jelas salah. Jika ditarik perbandingan dengan kata-kata sejenis pun juga salah. Awalan pe jika digabung dengan kata kerja yang berawalan dengan huruf "P" akan membentuk kata benda dengan bentuk melebur menjadi pem-, seperti yang kita temui pada kata pembunuh, pembabat, pembekap, dan tentu saja pembalap.


*          *          *


Bahasa Indonesia adalah bahasa yang masih amat muda. Berakar pada bahasa Melayu, Bahasa Indonesia baru mulai diakui sebagai bahasa sendiri pada 1928, bersamaan dengan ikrar ketiga pada Sumpah Pemuda. Masih banyak hal-hal yang belum tuntas untuk disepakati secara bersama penggunaannya. Masih panjang jalan bagi bahasa Indonesia untuk menemukan bentuk bakunya yang benar-benar solid.


Di tengah perjuangan menuju bahasa yang baku tersebut, rasanya tidak bijak jika kemudian kita membuat jalan menuju ke sana makin berat dengan memberikan arti-arti baru pada apa-apa yang sebenarnya sudah selesai disepakati. Media massa sebagai elemen yang paling sering menggunakan bahasa tulisan harusnya mampu memilih diksi yang tepat, bukannya justru membuka wacana-wacana baru. 

Rabu, Juli 04, 2012

Memperbaiki Gizi Bangsa Dengan Susu



Dalam satu dekade ini, konsumen Indonesia semakin sadar akan hidup sehat. Dua hal yang kemudian dianggap penting dijaga untuk menghasilkan hidup sehat adalah olahraga dan pola makan. Lihat saja bagaimana banyaknya pusat kebugaran yang dibuka dalam sepuluh tahun terakhir ini. Selain itu, beragam jenis diet juga dikenalkan. Mulai dari diet serat, diet jus, diet buah, dan berpuluh-puluh jenis diet lainnya. Tak pelak, pola hidup sehat sudah menjadi gaya hidup bagi beberapa kalangan.
Kecenderungan dari diet-diet yang dikenalkan di Indonesia, mengacu pada diet yang telah diterapkan di negara-negara maju. Umumnya, mereka cenderung mengurangi konsumsi pangan hewani dan memperbanyak konsumsi pangan nabati. Pada beberapa golongan yang "ekstrim", mereka bahkan merekomendasikan untuk menghentikan sama sekali pangan hewani.
Gaya Hidup Sehat di Indonesia: Tidak Makan Produk Hewani?
Di Indonesia, kampanye-kampanye ini hadir lewat berbagai media. Mulai dari obrolan yang menyebar melalui pergaulan sehari-hari sampai media dunia maya seperti blog. Kampanye yang paling populer mungkin adalah kampanye untuk menghentikan konsumsi daging merah, seperti daging sapi dan kambing. Alasan tingginya lemak dan kolesterol yang terkandung pada daging merah memberi ketakutan akan serangan jantung dan stroke. 
Anjuran untuk menghentikan konsumsi pangan hewani yang paling baru terjadi pada susu. Seakan tidak cukup isu susu yang terkontaminasi bakteri E. Sakazakii, kini "nama baik" susu yang selama ini kita kenal sebagai makanan yang bergizi dan penting kembali diuji. Seorang profesor Jepang bernama Hiromi Shinya dalam bukunya, The Miracle of Enzym, menuturkan buruknya susu bagi kesehatan pencernaan manusia. Apakah benar susu selalu buruk pada manusia?
Mari kita melihat konsumsi pangan hewani di Indonesia. Konsumsi per kapita warga Indonesia untuk daging ayam hanya 4,7-7 kg per tahun (bandingkan dengan Brazil yang mencapai 30 kg per kapita per tahun), konsumsi daging sapi 1,9-2,2 kg (bandingkan dengan Argentina yang mencapai 60 kg per kapita per tahun). Hal ini amat jauh dari rata-rata konsumsi daging per kapita negara-negara berkembang yang mencapai 23 kg untuk daging sapi dan ayam. 
Lalu bagaimana dengan susu sapi? Menyitir ucapan Prof. Bustanul Arifin dalam acara Indolivestock beberapa tahun lalu, tanpa perlu menyebutkan angka, konsumsi susu sapi di Indonesia per kapita per tahun hanya beberapa tetes. Tidak sampai 1 Liter! Menghitungnya hanya dalam satuan cc! Jika dirata-rata, masyarakat Indonesia nyaris tidak mengkonsumsi susu.
Dengan fakta di atas, maka tidak heran kalau seringkali kita menjumpai kasus gizi buruk bahkan sampai busung lapar di Indonesia. Kasus-kasus ini tidak hanya ditemui di daerah rural, tapi juga di daerah sub-urban bahkan urban.
Pangan hewani dikenal memiliki kandungan protein yang tinggi. Protein amat dibutuhkan pada masa pertumbuhan dan di saat masa penyembuhan. Tercukupinya kebutuhan protein seseorang di masa pertumbuhannya akan berimplikasi pada terbentuknya tubuh yang sehat dan otak yang cemerlang. 
Keunggulan Susu
Protein yang berasal dari hewan memiliki kandungan asam amino esensial yang lebih lengkap dibandingkan dengan protein nabati. Asam amino esensial sendiri tidak bisa dihasilkan dari metabolisme tubuh manusia sehingga asupannya dari makanan amat penting. Di antara  protein hewani, lainnya, susu memiliki kandungan lemak yang lebih sedikit dibandingkan dengan telur atau daging ayam, sehingga relatif lebih sehat. 
Susu relatif lebih terjangkau untuk dibeli oleh warga Indonesia. Harga susu segar tidak sampai Rp 10.000/ L. Bandingkan dengan telur ayam yang mencapai Rp 19.000,00/ kg atau daging ayam yang lebih dari Rp 25.000/ kg. Tidak perlu pula dibandingkan dengan daging sapi yang mencapai 70.000/ kg.
Mengkonsumsi susu pun lebih terjamin kehalalannya jika dibandingkan dengan mengkonsumsi daging. Berbeda dengan daging yang mensyaratkan penyembelihan yang halal, maka susu tidak memiliki syarat perlakuan untuk menjadi halal.
Dibandingkan beternak sapi potong, beternak sapi perah lebih feasible dilakukan di Indonesia. Sapi perah tidak membutuhkan ladang penggembalaan yang luas seperti sapi potong. Sapi perah cukup ditaruh di kandang yang kebersihannya terjamin.
Produktivitas susu sapi di Indonesia masih bisa ditingkatkan lagi. Saat ini produksi susu dari seekor sapi di Indonesia baru sekitar 8 Liter per hari. Idealnya, seekor sapi mampu memproduksi hingga 20 Liter per hari. Pemberian pakan yang tepat dengan cara yang tepat dapat meningkatkan produktivitas susu yang dihasilkan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mencacah pakan menjadi ukuran yang lebih kecil. Perlakuan ini amat sederhana, namun sayangnya masih jarang dipraktekkan oleh peternak sapi perah di Indonesia.
*     *     *




Peningkatan konsumsi susu adalah alternatif pemenuhan kebutuhan protein yang paling masuk akal dilakukan di Indonesia. Selain kandungan gizinya yang lengkap, harganya juga relatif lebih murah, dan terjamin kehalalannya. Belum lagi potensi produktivitas susu di Indonesia yang masih bisa ditingkatkan lagi. 
Gaya hidup sehat adalah dengan hidup yang seimbang. Tidak terlalu banyak mengkonsumsi satu jenis makanan, tidak pula terlalu sedikit mengkonsumsi terlalu sedikit satu jenis makanan. Dengan berkaca pada terjadinya berbagai kasus gizi buruk dan busung lapar di Indonesia, maka peningkatan konsumsi protein ini amat mendesak untuk dilakukan. Maka tidaklah tepat apabila ada kampanye untuk mengurangi atau bahkan menghentikan konsumsi produk pangan hewani di Indonesia. Warga Indonesia masih membutuhkan lebih banyak protein untuk dikonsumsi. Tidak berlebihan apabila ada yang menyatakan bahwa kekurangan protein berpotensi menghasilkan generasi yang hilang (The Lost Generation). Bangsa ini masih membutuhkan lebih banyak pangan hewani untuk menghasilkan generasi yang dapat diandalkan untuk membangun Indonesia.