Rabu, Juli 04, 2012

Memperbaiki Gizi Bangsa Dengan Susu



Dalam satu dekade ini, konsumen Indonesia semakin sadar akan hidup sehat. Dua hal yang kemudian dianggap penting dijaga untuk menghasilkan hidup sehat adalah olahraga dan pola makan. Lihat saja bagaimana banyaknya pusat kebugaran yang dibuka dalam sepuluh tahun terakhir ini. Selain itu, beragam jenis diet juga dikenalkan. Mulai dari diet serat, diet jus, diet buah, dan berpuluh-puluh jenis diet lainnya. Tak pelak, pola hidup sehat sudah menjadi gaya hidup bagi beberapa kalangan.
Kecenderungan dari diet-diet yang dikenalkan di Indonesia, mengacu pada diet yang telah diterapkan di negara-negara maju. Umumnya, mereka cenderung mengurangi konsumsi pangan hewani dan memperbanyak konsumsi pangan nabati. Pada beberapa golongan yang "ekstrim", mereka bahkan merekomendasikan untuk menghentikan sama sekali pangan hewani.
Gaya Hidup Sehat di Indonesia: Tidak Makan Produk Hewani?
Di Indonesia, kampanye-kampanye ini hadir lewat berbagai media. Mulai dari obrolan yang menyebar melalui pergaulan sehari-hari sampai media dunia maya seperti blog. Kampanye yang paling populer mungkin adalah kampanye untuk menghentikan konsumsi daging merah, seperti daging sapi dan kambing. Alasan tingginya lemak dan kolesterol yang terkandung pada daging merah memberi ketakutan akan serangan jantung dan stroke. 
Anjuran untuk menghentikan konsumsi pangan hewani yang paling baru terjadi pada susu. Seakan tidak cukup isu susu yang terkontaminasi bakteri E. Sakazakii, kini "nama baik" susu yang selama ini kita kenal sebagai makanan yang bergizi dan penting kembali diuji. Seorang profesor Jepang bernama Hiromi Shinya dalam bukunya, The Miracle of Enzym, menuturkan buruknya susu bagi kesehatan pencernaan manusia. Apakah benar susu selalu buruk pada manusia?
Mari kita melihat konsumsi pangan hewani di Indonesia. Konsumsi per kapita warga Indonesia untuk daging ayam hanya 4,7-7 kg per tahun (bandingkan dengan Brazil yang mencapai 30 kg per kapita per tahun), konsumsi daging sapi 1,9-2,2 kg (bandingkan dengan Argentina yang mencapai 60 kg per kapita per tahun). Hal ini amat jauh dari rata-rata konsumsi daging per kapita negara-negara berkembang yang mencapai 23 kg untuk daging sapi dan ayam. 
Lalu bagaimana dengan susu sapi? Menyitir ucapan Prof. Bustanul Arifin dalam acara Indolivestock beberapa tahun lalu, tanpa perlu menyebutkan angka, konsumsi susu sapi di Indonesia per kapita per tahun hanya beberapa tetes. Tidak sampai 1 Liter! Menghitungnya hanya dalam satuan cc! Jika dirata-rata, masyarakat Indonesia nyaris tidak mengkonsumsi susu.
Dengan fakta di atas, maka tidak heran kalau seringkali kita menjumpai kasus gizi buruk bahkan sampai busung lapar di Indonesia. Kasus-kasus ini tidak hanya ditemui di daerah rural, tapi juga di daerah sub-urban bahkan urban.
Pangan hewani dikenal memiliki kandungan protein yang tinggi. Protein amat dibutuhkan pada masa pertumbuhan dan di saat masa penyembuhan. Tercukupinya kebutuhan protein seseorang di masa pertumbuhannya akan berimplikasi pada terbentuknya tubuh yang sehat dan otak yang cemerlang. 
Keunggulan Susu
Protein yang berasal dari hewan memiliki kandungan asam amino esensial yang lebih lengkap dibandingkan dengan protein nabati. Asam amino esensial sendiri tidak bisa dihasilkan dari metabolisme tubuh manusia sehingga asupannya dari makanan amat penting. Di antara  protein hewani, lainnya, susu memiliki kandungan lemak yang lebih sedikit dibandingkan dengan telur atau daging ayam, sehingga relatif lebih sehat. 
Susu relatif lebih terjangkau untuk dibeli oleh warga Indonesia. Harga susu segar tidak sampai Rp 10.000/ L. Bandingkan dengan telur ayam yang mencapai Rp 19.000,00/ kg atau daging ayam yang lebih dari Rp 25.000/ kg. Tidak perlu pula dibandingkan dengan daging sapi yang mencapai 70.000/ kg.
Mengkonsumsi susu pun lebih terjamin kehalalannya jika dibandingkan dengan mengkonsumsi daging. Berbeda dengan daging yang mensyaratkan penyembelihan yang halal, maka susu tidak memiliki syarat perlakuan untuk menjadi halal.
Dibandingkan beternak sapi potong, beternak sapi perah lebih feasible dilakukan di Indonesia. Sapi perah tidak membutuhkan ladang penggembalaan yang luas seperti sapi potong. Sapi perah cukup ditaruh di kandang yang kebersihannya terjamin.
Produktivitas susu sapi di Indonesia masih bisa ditingkatkan lagi. Saat ini produksi susu dari seekor sapi di Indonesia baru sekitar 8 Liter per hari. Idealnya, seekor sapi mampu memproduksi hingga 20 Liter per hari. Pemberian pakan yang tepat dengan cara yang tepat dapat meningkatkan produktivitas susu yang dihasilkan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mencacah pakan menjadi ukuran yang lebih kecil. Perlakuan ini amat sederhana, namun sayangnya masih jarang dipraktekkan oleh peternak sapi perah di Indonesia.
*     *     *




Peningkatan konsumsi susu adalah alternatif pemenuhan kebutuhan protein yang paling masuk akal dilakukan di Indonesia. Selain kandungan gizinya yang lengkap, harganya juga relatif lebih murah, dan terjamin kehalalannya. Belum lagi potensi produktivitas susu di Indonesia yang masih bisa ditingkatkan lagi. 
Gaya hidup sehat adalah dengan hidup yang seimbang. Tidak terlalu banyak mengkonsumsi satu jenis makanan, tidak pula terlalu sedikit mengkonsumsi terlalu sedikit satu jenis makanan. Dengan berkaca pada terjadinya berbagai kasus gizi buruk dan busung lapar di Indonesia, maka peningkatan konsumsi protein ini amat mendesak untuk dilakukan. Maka tidaklah tepat apabila ada kampanye untuk mengurangi atau bahkan menghentikan konsumsi produk pangan hewani di Indonesia. Warga Indonesia masih membutuhkan lebih banyak protein untuk dikonsumsi. Tidak berlebihan apabila ada yang menyatakan bahwa kekurangan protein berpotensi menghasilkan generasi yang hilang (The Lost Generation). Bangsa ini masih membutuhkan lebih banyak pangan hewani untuk menghasilkan generasi yang dapat diandalkan untuk membangun Indonesia.

5 tanggapan:

rime mengatakan...

Ini jangan2 draft tulisan lomba blog susu halal ya? hehehe...

Kalau saya pribadi sih menganggap sebenarnya manusia tidak butuh susu. Tentang buruknya asupan gizi di Indonesia, sebenarnya masalah bukan hanya karena si keluarga tidak bisa beli susu, tapi ga bisa menyediakan protein secara mumpuni.

Kalau kita lihat mamalia-mamalia lain, susu hanya diperuntukkan bagi individu bayi saja, ketika dewasa, tubuh individu biasanya menolak susu. Tapi bagi manusia, terjadi evolusi, di mana untuk sebagian individu, susu tidak lagi dianggap zat asing yang merugikan. Tapi apakah sudah pasti dibutuhkan secara primer atau tidak, itu masih meragukan, karena jika benar susu adalah kebutuhan primer untuk hidup sehat, seharusnya tidak ada orang yang alergi susu.

Saya sesekali minum susu, tapi bukan dengan pandangan bahwa ini menyehatkan. Saya minum susu untuk tujuan pleasure (kesenangan) karena saya suka rasa susu. Dan selama hamil ini kalau saya merasa kurang makan lemak, saya memilih minum susu ketimbang makan daging.

Susu ibu hamil saya sama ma Dian Sastro loh *ga penting* :D

Rae mengatakan...

hehe.. iyah, tulisan ini emang tadinya diniatin untuk jadi materi lomba. tulisan ini sendiri sebenernya belum tuntas. mm.. bukan belom tuntas sih, tapi belum rapi. gue sendiri lebih suka kalo ada beberapa bagian yang diilangin karena jadi ngeganggu alur cerita. tapi abis ngeliat postingan calon kompetitor jadi geleuh sendiri. banyak yang a** licking ke produk sponsor. hahaha. gak mau deh kalo mesti kayak gitu. kalopun emang lombanya berupa review ya harusnya terang-terangan aja bilang kalo ini lomba review. kayak yang diskon.com itu. *siul-siul*

back to business,
1. sebenernya ide yang coba gue tuangin emang gak bilang bahwa manusia butuh susu. susu hanya salah satu alternatif pemenuhan protein hewani yang relatif lebih murah dibandingkan dengan daging ayam, daging sapi, telor (sekilo sekarang udah 22ribu), atopun ikan.

2. soal mamalia lain menolak susu, ah masa iya sih? kucing atau guk-guk dewasa biasanya dikasih susu ya doyan-doyan aja kok. (apa ini pengaruh domestikasi, ya nggak tau juga yah.. =D)

3. susu emang rasanya sih bukan kebutuhan primer. kayak yang udah gue terangin di poin 1, susu kan cuma produk substitusi aja untuk produk protein hewani lainnya. baik untuk diminum, tapi jangan sampe berlebihan. apapun intake makanan baik selama dalam batas kewajaran. kebanyakan makan nasi diabetes, kebanyakan makan telor bisulan, kebanyakan lemak obesitas, et cetera.

oh iya, konsumsi susu kan gak selamanya dalam bentuk cair (baik segar ato gak). produk-produk cheese cake, rainbow cake, gitu-gitu juga mengandung susu kan yah. =D

rime mengatakan...

Kayanya saya mengulangi kebiasaan buruk saya nih. Saya seringkali menulis "komentar" berupa uneg2 yang ga ada hubungannya sama tulisan yang sdg dikomentari, tapi merupakan komentar untuk si permasalahan itu sendiri (bukan buat tulisannya). *karena berasa diajak diskusi teaaaaa*

*btw saya juga baru dapet masalah gara2 kebiasaan buruk ini di blog orang lain, loh. parahnya yang punya blog sampe ngamuk.. hadoh.*

Iya, Mas Rae, setuju... Di postingan ini emang ga dibilang susu itu kebutuhan primer. Saya sebenere cuma menyayangkan bahwa di Indonesia ini banyak yang salah paham tentang susu. Terlebih setelah baca tulisan2 yang menang lomba halal-halalan itu loh.. :)

Tentang anjing dan kucing, iya juga ya.... Ntar saya baca2 lagi deh, siapa tau saya salah baca. Terakhir saya baca ttg susu-susuan sih, dibilangnya individu dewasa udah ndak butuh susu, hihihi.

*Sori ya Mas Rae atas kekacauan yang saya buat :P*

Rae mengatakan...

*baru kepikiran*

mungkin gak sih kalo mamalia lain berhenti menyusu bukan karena mereka bosan dengan susu, tapi karena disapih oleh induknya.

rime mengatakan...

Mungkin aja.. supaya anaknya ga manja *mulai asbun*

Tapi kan emang si induk ga menghasilkan susu lagi kalau anaknya udah gede. Kita kan ga minum ASI lagi, tapi minum susu sapi, yang mana supaya bisa ngasilin susu, si sapi harus hamil terus-terusan. Hamilnya juga ga pake proses ML, tapi pake proses kaya bayi tabung gitu. *kasian juga sih*