Rabu, Juli 18, 2012

Bahasa Indonesia: Apa-Apa yang Belum Selesai Darinya

Tugas bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa yang sempurna belum tuntas. Masih banyak hal-hal yang harus diputuskan mana yang benar. Kalaupun sudah benar, masih harus dipromosikan untuk digunakan oleh semua kalangan.


Namun sayangnya bahasa Indonesia semakin hari justru semakin rusak. Inkonsistensi pemakai bahasa Indonesia menjadi penyebab utamanya. Padahal secara struktur kalimat, bahasa Indonesia sudah amat baik. Hal ini amat penting, karena semakin baik struktur kalimat, semakin jarang ditemui kalimat-kalimat ambigu.


Struktur Kalimat yang Baik


Struktur kalimat yang baik ditopang dari jelasnya pemisahan antara masing-masing komponen kalimat. Bukan hanya subyek, predikat, obyek, dan keterangan dapat dipisahkan dengan jelas, namun juga antara komponen yang setara. Misalnya pada kalimat yang memiliki subyek atau obyek jamak. Sayangnya, kini seringkali kita jumpai kalimat yang tidak tepat penulisannya di ruang-ruang publik atau bahkan di media cetak atau maya.
Rusdi harus rela kehilangan dompet, uang serta ponsel.
Banyak sekali orang menuliskan kalimat seperti di atas. Padahal kalimat tersebut salah. Struktur kalimat ini memang seringkali ditemui di dalam kalimat bahasa Inggris, entah benar atau tidak. Tapi yang jelas, dalam struktur kalimat Bahasa Indonesia, penulisan tersebut adalah keliru.
Sekarang mari kita penggal komponen kalimat tersebut.
Rusdi = Subyek
harus rela kehilangan = Predikat
dompet = Obyek I
uang = Obyek II
serta ponsel = Obyek III.


Kalimat ini adalah kalimat majemuk setara dengan tiga obyek. Karena subyek dan predikatnya sama, maka kedua komponen tersebut melebur dan menyisakan tiga obyek di belakang yang harus dipisahkan dengan tanda baca koma (","). Kata sambung "serta" hanya digunakan untuk menandakan bahwa kalimat telah mencapai obyek terakhir dan tidak membuat tanda koma sebelum kata "serta" menjadi hilang. Maka penulisan yang benar adalah:
Rusdi harus rela kehilangan dompet, uang, dan ponsel.
Pemakaian tanda koma ini penting untuk menghindari struktur kalimat aneh apabila obyek kalimatnya adalah pasangan. Contoh kalimat nyeleneh yang saya maksud adalah sebagai berikut:
Pesta ini dihadiri oleh pasangan Tarzan dan Jane, Windu dan Devina serta Johan dan Erni.
Kalimat tersebut menjadi berantakan di bagian akhir karena ada banyak kata sambung yang tidak jelas pemenggalannya. Kata sambung "serta" tidak dapat menggantikan tanda baca koma (",") untuk memisahkan antara masing-masing komponen kalimat. Tanda koma (",") penting untuk memisahkan antar pasangan. 
Pesta ini dihadiri oleh pasangan Tarzan dan Jane, Windu dan Devina, serta Johan dan Erni.


Kejanggalan dalam bahasa Indonesia


Meskipun secara struktur kalimat sudah baik, namun bahasa Indonesia masih banyak memiliki kejanggalan yang lazim kita temui dalam percakapan sehari-hari. 
Siapa nama kamu?
Berapa nomor telepon kamu?
Dua kalimat di atas adalah salah satu contoh kalimat yang sebenarnya janggal namun lazim diucapkan. Kalimat pertama menggunakan kata tanya "siapa" untuk menanyakan nama. Sebenarnya lebih tepat menggunakan kata "apa", karena nama adalah benda, bukan orang. Jika ingin menggunakan kata tanya "siapa" maka kalimatnya cukup menjadi:
Siapa Kamu?
 atau
Apa Nama Kamu
Kalimat kedua juga janggal karena menggunakan kata tanya "berapa" untuk menanyakan nomor telepon. Sebenarnya tidak salah jika kemudian dijawab dengan jumlah nomor telepon yang dimiliki, seperti: 
Saya punya 2 buah nomor telepon.
Namun tentu bukan itu yang dimaksud dengan pertanyaan di atas. Fungsi kata tanya "berapa" digunakan untuk menanyakan jumlah. Sedangkan nomor telepon yang dimaksud adalah sebagai sebuah identitas, bukan sebagai jumlah. Maka kalimat yang lebih tepat adalah:
Apa nomor telepon kamu?
Merasa aneh? Mari kita bandingkan padanan dua kalimat tersebut di atas dengan bahasa Inggris. Kejanggalan dua kalimat tersebut tidak ditemukan di bahasa Inggris. 
What is your name?
What is your number?
Dalam bahasa inggris, kata tanya yang digunakan adalah "what" bukan "who" atau "how much". Dalam hal ini, bahasa Indonesia memang ketinggalan. Perlu ada evaluasi dari ahli bahasa untuk mengubah kebiasaan yang sebenarnya salah ini. Namun evaluasi saja hanyalah hal yang sepele. Permasalahan yang kemudian akan terbuka adalah bagaimana mempromosikan penggunaan kata yang benar ini.


Media Massa dan Bahasa Mereka (yang Seenaknya Saja)


Media massa, sebagai pengguna utama bahasa tulisan, sejatinya memegang tanggung jawab moral yang amat berat dalam menjaga kesahihan bahasa Indonesia. Celakanya, yang terjadi justru sebaliknya.


Tidak jarang media massa menggunakan kata yang tidak sesuai dengan maknya. Contoh yang paling mudah adalah "alih-alih". Media kebanyakan mengartikan "alih-alih" sebagai "jangankan" atau "bukannya". Contoh kalimatnya adalah:
Alih-alih turut serta memberantas korupsi, Presiden justru terkesan membiarkannya.
Penggunaan kata alih-alih sudah sedemikian massifnya, hingga semua orang pun kini "sepakat" memang seperti itulah arti kata "alih-alih".  Padahal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti dari "alih-alih" adalah sebagai berikut:
alih-alih p 1 dengan tidak disangka-sangka 2 kiranya: disangkanya sudah pergi, -- masih tidur
Seakan tidak cukup "memberi" arti baru pada kata yang jarang digunakan, media massa juga merasa perlu merubah kata yang sebenarnya sudah tepat menjadi bentuk baru. Selama ini, kita sudah sepakat bahwa kata yang benar adalah "pembalap", namun media massa merasa perlu mengubahnya menjadi "pebalap". Pergeseran bentuk kata ini bahkan terjadi di media massa besar seperti pada tautan yang tersemat pada kompas.com, republika.co.id, tempo.co, dan detik.com.


Entah bagaimana wartawan dan redaktur-redaktur di media massa mendapat ide gila tersebut. Merujuk pada KBBI pun sudah jelas salah. Jika ditarik perbandingan dengan kata-kata sejenis pun juga salah. Awalan pe jika digabung dengan kata kerja yang berawalan dengan huruf "P" akan membentuk kata benda dengan bentuk melebur menjadi pem-, seperti yang kita temui pada kata pembunuh, pembabat, pembekap, dan tentu saja pembalap.


*          *          *


Bahasa Indonesia adalah bahasa yang masih amat muda. Berakar pada bahasa Melayu, Bahasa Indonesia baru mulai diakui sebagai bahasa sendiri pada 1928, bersamaan dengan ikrar ketiga pada Sumpah Pemuda. Masih banyak hal-hal yang belum tuntas untuk disepakati secara bersama penggunaannya. Masih panjang jalan bagi bahasa Indonesia untuk menemukan bentuk bakunya yang benar-benar solid.


Di tengah perjuangan menuju bahasa yang baku tersebut, rasanya tidak bijak jika kemudian kita membuat jalan menuju ke sana makin berat dengan memberikan arti-arti baru pada apa-apa yang sebenarnya sudah selesai disepakati. Media massa sebagai elemen yang paling sering menggunakan bahasa tulisan harusnya mampu memilih diksi yang tepat, bukannya justru membuka wacana-wacana baru. 

3 tanggapan:

Anonim mengatakan...

belum lagi tren remaja yang menggunakan kata 'galau', 'sesuatu', dll sebagai kata yg mewakili berbagai macam ekspresi, maka semakin dangkal lah bahasa indonesia ini mas.

rime mengatakan...

Wah, berarti saya termasuk orang yang salah menggunakan kata "alih-alih" :P

K4l0w y6 b3G1nI 61M4n4 m45 Ra3? *tepokjidat*

Rae mengatakan...

@anonim
hehe. jadi galau itu mengalami perluasan makna yah. dari yang dipake untuk mengekspresikan kebingungan jadi bisa dipake untuk mengekspresikan perasaan apapun yang sifatnya negatif.

@rime
tiap generasi kayaknya punya "identitas" masing-masing yah. JamanDuluAdaYangHobiNulisBeginiDemiIritKarakterDiSMS. ADAjugaYANGtulisannyaMODELbegini. l0w 53k4rAnkk m4nk gY jAm4n tUl15aN i4nk gYnee. =D