tapi kalo mau tetep nekad baca ya saya mau bilang apa. untuk kenyamanan anda sendiri saya sudah berusaha sebisa mungkin untuk menyamarkan apa-apa yang menjadi bagian film. maka dari itu jika anda belum menonton film ini kemungkinan besar anda tidak akan menangkap maksud tulisan ini.
hehehe.
setelah dua kali menonton film ini sekitar hampir satu tahun yang lalu, akhirnya saya tergelitik juga untuk beropini. dengan berbekal mesin pencari google, akhirnya saya berkesempatan membaca beberapa review tentang pintu terlarang. langkah yang tidak bijak ternyata karena pada akhirnya saya jadi pusing sendiri di tengah malam ini.
pusing karena setiap review mengembangkan imajinasinya masing-masing untuk menginterpretasi film ini. sementara semua orang tidak henti-hentinya memberi puja-puji untuk film ini, saya justru memilih sikap anti populis dan berusaha realistis. dengan berusaha untuk tidak terjebak pada bayang-bayang prestasi dan portofolio joko anwar, akhirnya saya memberanikan diri untuk mengambil konklusi bahwa film ini
yah, mungkin memang gak sampah sih. film ini hanya film yang beda dari pakem film-film arus utama. saya hanya orang awam yang buta soal film-film festival dan lebih memilih untuk dibodoh-bodohi holywood untuk membayar karya-karya tipikal mereka.
tapi yang mengganjal adalah, dari sekian banyak review dan reka-reka
akhirnya saya memasrahkan diri untuk ikut dalam permainan joko anwar dalam mereka-reka isi otaknya. oh, sungguh kejamnya joko anwar karena pasti dia sangat girang bukan kepalang melihat reviewer-reviewer yang mencoba memahami film ini. belum tentu benar namun tetap saja segala puja-puji untuk beliau mengucur deras. arggh, saya membayangkan wajah joko anwar tersenyum licik.
parahnya lagi adalah jika ternyata joko anwar pun sebenarnya hanya sedang mempermainkan penonton dengan membuat plot-plot yang seolah terkembang dalam banyak persimpangan dan memang membebaskan imajinasi setiap penontonnya menginterpretasi filmnya sementara ia sendiri tidak punya interpretasi sendiri untuk film ini. semoga saja tidak. amin.
saya mendasarkan reka cerita ini pada dua resensi yang saya temukan di sini dan di sana. untuk lebih memudahkan anda membaca tulisan ini, saya persilahkan anda untuk membaca terlebih dahulu dua tulisan tersebut (dan menonton filmnya terlebih dahulu tentu saja). tapi kalau tidak mau ya tidak apa-apa. silahkan saja melanjutkan perhatian anda pada paragraf di bawah ini.
saya sepakat dengan pernyataan bahwa joko anwar memang sedang bercerita tentang sebuah jarak. bagaimana kamera dan monitor memberikan sebuah jarak yang aman bagi penonton untuk menikmati apa-apa yang seharusnya tabu dalam kehidupan nyata. sebuah jarak yang memberi kesempatan bagi penonton untuk menikmati "dosa" tanpa harus menjadi berdosa. kenikmatan itulah yang ditawarkan sebuah klub gak jelas bernama herosase. memberikan sajian fragmen-fragmen kehidupan beberapa orang yang diambil melalui kamera pengintai yang tersaji dalam beberapa kanal televisi.
film ini jelas penuh dengan metafora dan metafora yang (dengan sesuka hati) saya tangkap adalah kebudayaan pop televisi. bagaimana kita didoktrin bahwa televisi memuat berjuta informasi yang amat berguna bagi kita namun pada saat yang sama juga memuat paradoks berupa proses yang bernama dehumanisasi.
tayangan sadis, tidak realistis, dan imajinatif seolah mendapatkan pemakluman ketika ditonton melalui sekat berupa lembaran gelas pada tabung televisi (maafkan saya untuk mengabaikan teknologi layar yang sudah tidak menggunakan tabung). sebuah pemakluman yang kemudian sering mewujud dalam kalimat,"yaelaaah... namanya juga pelem".
namun sang tokoh utama dalam film ini, Gambir, merasakan keresahan karena menangkap realitas yang berlebihan pada televisi yang ia tonton. jika kita mendekatkan cerita ini ke kehidupan nyata pun kita akan mendapati tayangan-tayangan televisi seperti ini (yang sok realistis) semacam termehek-mehek dan realigi.
keresahan Gambir berbuntut pada kehidupan nyatanya. Ia merasa bahwa ada yang tidak benar dalam dunianya. tidak benar karena, entah di mana, ada seorang anak yang menjadi obyek kekerasan orang tuanya. sebuah realitas dalam wujud seorang anak yang ia lihat melalui layar televisi. Ia pun berhalusinasi bahwa ia memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan sang anak. ia merasa ada dialog yang mampu menembus sekat tabung televisi. sebuah dialog antara dia dan sang anak. akhirnya Gambir justru "terpaksa" untuk selalu melihat penyiksaan anak tersebut demi mendapatkan petunjuk di mana anak itu berada.
seperti yang sudah saya bilang tadi, bahwa layar televisi memberi jaminan batas aman bagi penonton untuk memahami mana yang nyata dan mana yang tidak. televisi menjadi saluran imajinasi yang tidak dimungkinkan untuk terjadi di alam nyata bahkan untuk menjadi saluran bagi apa-apa yang tabu. namun ketika kita sudah terpapar dengan sedemikian massifnya dengan pendaran cahaya dari televisi, maka bukan tidak mungkin semua yang ada di televisi tersebut mampu melangkah melalui sebuah PINTU TERLARANG tepat menuju otak kita melalui mata. inilah pintu terlarang yang dimaksud. tanpa disadari, tayangan televisi telah mencengkram kehidupan kita dengan begitu erat. hal ini pun telah diangkat oleh Neil Postman melalui bukunya, Amusing Ourselves to Death.
sebuah pintu yang membuat mereka mampu menjadi kewajaran di alam nyata. ya wajar-wajar saja, jika kita telah terpapar televisi dalam intensitas yang sedemikian tinggi, maka kehidupan kita pun adalah seputar yang ditayangkan televisi itu juga toh?
paparan-paparan ini kemudian secara tidak sadar membuat Gambir merasa sah-sah saja untuk mempraktekkan apa yang dia tonton di kehidupan nyata. maka ia pun menyelesaikan masalah di rumahnya dengan cara yang sudah dia pahami benar melalui televisi yang selalu ia lihat, yaitu kekerasan.
potongan metafora lain yang ada di film ini menurut saya adalah bahwa Gambir bukanlah satu orang. Gambir mewakili semua penonton yang menjadi korban adiksi televisi. Gambir dapat berupa orang biasa-biasa saja, bisa jadi seorang pematung, bisa jadi seorang suami, seorang anak, seseorang yang akhirnya menjadi gila, atau bahkan seorang pastor sekalipun (dua contoh terakhir tertuang dalam fragmen akhir film ini).