Kamis, Januari 28, 2010

Sajak Suara

salah satu acara pembuka South to South Film Festival 2010 yang lalu adalah pembacaan puisi oleh dua orang anak korban lumpur Lapindo. dalam acara gladi resik, saya sempat menemani kedua anak itu mencoba sistem suara yang ada di panggung.

dengan lantang salah satu anak itu membacakan beberapa deret kalimat yang tercetak di selembar kertas yang sudah kumal. sementara rekannya memainkan nada-nada diatonik melalui piano mainan sebagai musik latarnya.

sebelumnya saya sempat berpikir bahwa mereka akan memainkan puisi karya mereka sendiri. ternyata yang mereka bawakan adalah milik orang lain. kaget juga mendengar permainan diksi dari puisi yang dibawakan anak itu. bait-baitnya keras menghentak meski tidak kasar. tidak mungkin ini adalah gubahan anak kecil.

setelah dua bait, saya mulai merasakan aroma-aroma HOMICIDE. sambil mengingat-ingat lagu HOMICIDE mana yang mirip dengan puisi tersebut. terus terang saya tidak pernah benar-benar mencoba menghafalkan lirik lagu-lagu HOMICIDE, kecuali barisan nisan. itupun lebih dikarenakan barisan nisan adalah satu-satunya lagu (atau sajak?) yang dilafazkan mereka dengan suara terang.

akhirnya waktunya pentas. sepanjang pembacaan puisi saya bersiap di sisi panggung. maklum, kebagian tugas menyiapkan panggung. lepas pembacaan puisi, kawan di sebelah saya bertanya,"tau gak tadi itu puisi siapa?"

"gak tau.. emang siapa?"

"widji tukul," ujarnya.

namanya memang tidak asing di telinga saya. sebagai salah satu korban keganasan praktik penghilangan orang, nama Widji Tukul telah melegenda jauh sebelum Munir wafat. namun demikian, saya baru satu kali mendengar puisinya. ah, miskin sekali wawasan sastra saya ini. setelah ditelisik lebih jauh, ternyata puisi yang dibawakan malam itu memang begitu melegenda di kalangan ekstrimis aktivis kemanusiaan, sampai-sampai HOMICIDE menginterpretasikan puisi ini ke dalam sebuah lagu dengan judul yang sama. inilah puisi yang dibawakan malam hari itu.

Sajak Suara

sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku

suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu : pemberontakkan!

sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang merayakan hartamu
ia ingin bicara
mengapa kaukokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?

sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ia yang mengajari aku untuk bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan

2 tanggapan:

Anonim mengatakan...

munir masih jelas jasadnya,lha widji thukul ampe sekarang entah dimana.tu bocah lapindo mantap bener pilihannya.ada yg nyuruh atau
emang pilihan mereka berdua tuh...

Rae mengatakan...

pasti pesenan sih kayaknya.

wakakak