Bukan kemurahan maaf dari kita, orang Indonesia kebanyakan, yang menjadi penting. Kemurahan maaf dari mereka yang menjadi korban langsungnyalah yang harusnya menjadi pertimbangan utama. Sesuatu yang mungkin, maaf-maaf saja, tidak akan pernah ditemukan harga jadinya.
Maaf dari mereka yang pernah terkencing-kencing ketika orang tuanya ditarik paksa karena cap komunis. Maaf dari istri orang-orang seperti Wiji Tukul. Juga maaf dari orang tua seperti Herman Hendrawan yang hilang tak tentu rimba hingga saat ini.
Empati kita, yang orang Indonesia kebanyakan, rasanya tidak akan pernah bisa memahami kepiluan yang mereka rasakan. Ini bukan konsensus di mana suara terbanyak yang akan menentukan arah. Tidak adil jika suara kita, yang hanya menikmati swasembada pangan dan kesiapan menuju era tinggal landas, harus diberi harga yang sama dengan suara mereka yang telah didesain dalam keadaan rugi.
Mungkin sulit untuk meminta keikhlasan mereka di generasi ini. Maka hanya waktu yang bisa menyembuhkan. Hanya waktu yang bisa mereduksi kemarahan di tiap kelanjutan generasi kita. Sesuatu yang mungkin tidak akan tercapai dalam dekade ini. Sebuah proses panjang yang sadar tidak sadar telah kita mulai. Sampai waktunya nanti kita bisa dengan ikhlas mengatakan,"Terima kasih, pahlawan."
0 tanggapan:
Posting Komentar