Minggu, Juli 04, 2010
Semangkuk Mie Ayam
Beberapa meter setelah gerbang Sekolah Dasar di mana saya menimba ilmu dulu, tepat di pojokan depan Gedung Cabang Muhammadiyah, ada tenda mie ayam yang benar-benar laris. Pelanggannya beragam. Mulai dari sopir antar jemput sampai orang tua murid. Dari pedagang mainan yang berjejer di sekitarnya sampai guru-guru. Setiap hari dagangannya hampir pasti habis. Lepas jam satu siang, sang pedagang biasanya sudah berkemas-kemas untuk pulang.
Saya masih ingat harganya. Satu porsi Rp 700,00 dan setengah porsi Rp 500,00. Untuk saya yang ketika itu uang jajannya hanya dijatah Rp 6.000,00 per bulan, tentu saja mie ayam saya kategorikan ke dalam barang mewah. Barang tersier. Bukan hanya untuk saya, teman-teman yang lain pun menganggapnya demikian. Mie ayam adalah sebuah kasta dengan prestise selanjutnya setelah somay dan es serut berbentuk payung kuncup. Makanan para priyayi. Makanan anak orang kaya. Makanan yang oleh sebagian anak lain hanya bisa dinikmati setelah merengek setengah mati ke orang tuanya yang kebetulan sedang menjemput. Makanan yang biasa dihadiahkan orang tua kepada anaknya setelah pembagian raport.
Beberapa kali teman-teman saya patungan untuk membeli mie ayam. seratus rupiah per anak. Jadilah setengah porsi mie ayam dikeroyok lima anak. Saya sendiri lebih memilih untuk menahan-nahan untuk hemat jajan di awal bulan, agar ketika akhir bulan bisa mendapatkan sisa uang untuk membeli mie ayam.
Dulu saya suka sekali menambahkan banyak-banyak saus murahan khas yang biasa ada di tukang mie ayam ke dalam mangkuk. Entah kenapa. Padahal sekarang saya tidak pernah menambahkan saus pun kecap ke dalam mie ayam. Mungkin warna kuning genteng menyalanya yang membuat saya tertarik ketika itu.
Seiring perjalanan waktu, saya menemukan bahwa mie ayam tidak lagi menjadi makanan yang wah. Apalagi setelah berkali-kali menemukan mie ayam dengan rasa gak karuan. Sekarang, tiga belas tahun lebih setelah pengalaman saya ketika sekolah dasar, saya menemukan sekelompok masyarakat yang menganggap mie ayam sebagai lambang kemewahan. Makanan khusus yang dimakan pada waktu khusus pula.
Tersebutlah pasar payroll. Pasar yang hanya hadir di hari sabtu dari siang sampai sore. Disebut pasar payroll karena hadir di dekat loket payroll. Loket pembagian gaji untuk buruh tani di sebuah perusahaan perkebunan tebu di pangkal Sumatera.
Pedagang yang berjualan di sana tidak sampai tiga puluh. Sebagian menjual kaos murah meriah dan kemeja bekas. Sebagian yang lain menjual peralatan rumah tangga. Namun dari sekian banyak pedagang tersebut, yang paling banyak adalah pedagang mie ayam.
Makan mie ayam menjadi semacam lambang penghargaan atas jerih payah buruh tani yang telah seminggu penuh membanting tulang untuk dua sampai tiga ratusan ribu rupiah. Terkadang kurang. Enam sampai delapan jam sehari. Enam hari seminggu, bahkan tujuh. Itulah waktu yang harus mereka setor demi menyambung hidup keluarganya. Untuk semua kerja keras itu, semangkuk mie ayam di akhir pekan adalah cara mereka untuk merayakannya. Sebuah cara yang meriah untuk mereka, tapi mungkin biasa-biasa saja untuk orang-orang kebanyakan.
Label: cerita orang, gaya hidup, monolog dua arah, sosial
Dirangkai oleh Rae pada 5:58:00 AM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 tanggapan:
Posting Komentar