Senin, Maret 08, 2010

Bisakah Sholat Jumat di hari Sabtu?

Terkadang, suatu bahasan bisa menjadi tidak jelas dan bias jika dipaparkan melalui sekedar tulisan dan gambar. Beberapa orang menganggap karena kapasitas media tulisan dan gambar tidak cukup untuk menanggung beban bahasan tersebut - padahal ada ungkapan satu gambar dapat menjelaskan seribu kata. Untuk lebih memperjelas sebuah bahasan, maka terkadang dibutuhkan diskusi sehingga terjadi dialog dua arah dari pendonor ke orang yang hendak diberi penjelasan olehnya.

Tulisan saya kali ini pun mungkin akan bernasib demikian, tidak jelas dan bias. Akan tetapi, saya ingin menantang diri saya sendiri untuk bisa menjelaskan sebuah ide yang tidak umum dipahami manusia kebanyakan melalui media yang cenderung satu arah, blog.

Substansi dari tulisan ini sendiri bisa jadi dinilai penting, jika penyampaian saya tepat. Tetapi bisa juga hal ini hanya terlihat sebagai ide konyol yang sebaiknya diacuhkan saja. Mari kita mulai.

Seperti yang kita ketahui, penanggalan yang umum digunakan di dunia adalah penanggalan Gregorian yang mendasarkan perhitungannya pada pergerakan matahari. Dalam perkembangannya, sistem penanggalan ini telah beberapa kali mengalami revisi. Salah satu revisi yang terkenal adalah penambahan satu hari dalam salah satu tahun pada siklus empat tahun. Tahun yang kebagian jatah hari lebih banyak ini kemudian lebih dikenal dengan nama tahun kabisat.

Islam, sebagai agama langitan, tidak menggunakan penanggalan Gregorian, yang penuh revisi dan intervensi manusia, dalam menetapkan hari-hari rayanya. Penanggalan yang digunakan adalah penanggalan Hijriah yang mendasarkan perhitungannya pada pergerakan bulan. Berbeda dengan penanggalan Gregorian, penanggalan Hijriah sampai saat ini masih steril dari intervensi manusia. Salah satu konsekuensinya adalah kesulitan dalam membuat kalender satu tahun penuh di awal tahun. Maka tidak heran jika kemudian banyak umat Islam yang berselisih dalam menentukan hari raya Idul Fitri karena perbedaan hasil metode Hisab dan Ruqyat.

Saya tidak tertarik untuk membahas perselisihan tersebut karena sudah banyak yang memberikan pendapatnya. Namun jika anda tertarik, saya merekomendasikan satu artikel menarik mengenai penentuan hari Idul Fitri yang bisa dilihat di sini.

Permasalahan perbedaan waktu di dalam menentukan waktu-waktu ibadah di dalam Islam sebenarnya bisa menjadi kajian yang menarik. Kebetulan beberapa tahun yang lalu saya tiba-tiba memikirkan,"Daerah pertama di dunia yang memulai hari itu sebenarnya di mana sih?"

Akhirnya saya mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut. Batas penanggalan dunia ada di garis bujur 180°. Garis batas ini adalah garis maya yang di beberapa bagian meliuk-liuk untuk disesuaikan dengan garis batas negara yang bersangkutan. Beberapa revisi untuk garis ini terjadi pada perbatasan Rusia - Amerika Serikat di Selat Bering dan di perbatasan Kiribati - Amerika Serikat. Garis batas penanggalan yang jelas dapat anda lihat dengan mengklik gambar di bawah ini.

Garis Batas Penanggalan Hari. Klik untuk memperbesar Gambar.
(Sumber: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/6/61/International_Date_Line.png)

Garis maya hasil kesepakatan orang-orang inilah yang kemudian menjadi batas hari. Seberapa signifikan garis tersebut? Ferdinand Magellan pernah dibuat bingung ketika mengelilingi bumi ke arah barat karena ketika dia sampai di titik awal keberangkatannya, ternyata dia telat satu hari dibandingkan jurnal pelayaran yang dia buat. Fenomena unik ini juga diracik secara menarik oleh Jules Verne melalui novel cerdasnya, Around The World in 80 Days.

Jika anda masih bingung dengan fenomena apa yang saya maksud, maka ijinkanlah saya untuk memberi contoh yang saya ambil dari artikel Wikipedia Indonesia berikut ini:
Tonga dan Samoa adalah dua negara yang berdekatan. Jarak tempuh dua negara ini dengan menggunakan pesawat hanyalah dua jam. Akan tetapi Tonga berada di sebelah barat garis batas penanggalan sedangkan Samoa berada di sebelah timurnya. Artinya, ketika di Tonga adalah hari Selasa, maka di Samoa adalah hari Senin. Jika seseorang naik penerbangan dari Tonga pada hari selasa pukul 12.00 siang hari, maka ia akan sampai di Samoa pada pukul 14.00. Tetapi ia tiba di Samoa bukan pada hari Selasa, melainkan hari Senin, atau Ia berjalan mundur satu hari.
Bayangkan apa yang terjadi bila saya, yang seorang muslim, berangkat dari Tonga selepas mengerjakan sholat Jumat menuju Samoa. Maka saya akan tiba di Samoa pada hari Kamis dan artinya dalam waktu kurang dari 24 jam berikutnya, saya memiliki kewajiban untuk menunaikan Sholat Jumat kembali. Saya mengerjakan sholat Jumat di saat, beberapa mil di sebelah barat saya sudah bukan hari Jumat lagi, melainkan Sabtu.

Kemudian yang mengusik pertanyaan saya adalah, apakah boleh umat Islam menggunakan batas penanggalan yang sama dengan kebanyakan orang di muka bumi ini, yaitu mendasarkan penggantian hari pada sebuah garis maya yang ditetapkan melalui konvensi? Jika tidak, lantas di manakah garis batas penanggalan menurut versi Islam?

Wallahu'alam bish-showab

8 tanggapan:

MaYaNG's mengatakan...

gue juga gak bisa jawab re. banyak2 buka buku tentang agama ya.. mungkin ada jawabannya. kalo udah ketemu langsung di-share..

Rae mengatakan...

ah payah nih..
padahal kan gua di sini mancing orang buat ngeluarin ayat ato hadist.
=P
masa' gua juga yang jawab.
=D

Anonim mengatakan...

emang ada perbedaan waktu seprti itu ya mas??

Rae mengatakan...

ada dong..
nih link artikel wikipedianya..
http://id.wikipedia.org/wiki/Batas_penanggalan_internasional

Ilham DC mengatakan...

Gua jadi pengen sholat jumat lagi rae :D

Aryo Bilaga mengatakan...

coba perhatikan blog ini

Aryo Bilaga mengatakan...

http://jam-hijriyah.blogspot.com

JAM HIJRIYAH ADALAH PERHITUNGAN WAKTU ISLAM YANG PERGANTIAN HARI DIMULAI SETELAH MATAHARI TERBENAM BERTEPATAN DENGAN WAKTU MAGHRIB (00.00.00) DAN PUTARAN JARUM JAMNYA DARI KANAN KE KIRI

Aryo Bilaga mengatakan...

http://jam-hijriyah.blogspot.com/2010/10/bagaimana-cara-menetapkan-sistem-tata.html