Senin, November 23, 2009

karena hukum tidak melihat

jika anda termasuk korban film india di TPI pada dekade 90-an, maka pasti anda jamak melihat gambar patung justitia, dewi keadilan berdasarkan mitologi romawi. dalam pendeskripsiannya, digambarkan bahwa justitia memegang pedang di tangan kanan, neraca di tangan kiri, serta penutup mata.

penutup mata menggambarkan bahwa hukum harus (atau setidaknya diharapkan) berlaku imparsial atau tidak memihak. hukum akan berlaku adil tanpa memandang bulu, pangkat, strata, kasta, status ekonomi, derajat pendidikan, umur, gender, ataupun pendikotomian lainnya.

maka tidak ada yang salah ketika seorang minah, nenek yang tertangkap tangan karena mencuri 3 buah kakao, kemudian dihukum 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan. mencuri 3 buah kakao mungkin memang terdengar sepele, tapi itulah hukum. suka tidak suka, hukum telah disepakati dan sebagai konsekuensinya, hukum harus kita taati.

muncul suara-suara yang menyayangkan jaksa karena tidak memberikan kebijaksanaannya, misalnya mengeluarkan surat keputusan penghentian penuntutan (skp2). rasanya kebijaksanaan (atau lebih tepatnya pengecualian) adalah sebuah keistimewaan yang tidak dimiliki hukum. hanya presiden yang memiliki hak prerogatif seperti abolisi atau amnesti. badan yudikatif seperti kejaksaan tidak memiliki hak istimewa semacam itu.

lantas bagaimana dengan koruptor-koruptor kakap yang terkesan sulit diusut padahal telah menimbulkan kerugian jauh lebih banyak ketimbang 3 buah kakao? situasi ini memang adalah sebuah ketidakadilan dan kita harus bergerak menuju keadilan tersebut. akan tetapi keadilan tersebut bukan didapat dengan cara menafikan hukum.

hukum harus ditegakkan, bukan justru dibaringkan. bagaimanapun juga, sang nenek bersalah karena telah mencuri. untuk itu beliau harus menerima konsekuensi hukumnya sesuai dengan keputusan majelis hakim. masih bebasnya koruptor di luar tidak dapat dijadikan alasan untuk membebaskan sang nenek dari tuntutan. keadilan hanya bisa didapat dengan memenjarakan koruptor-koruptor tersebut.

hukum memang buta, namun masyarakat tidak. masyarakat yang kemudian memiliki keistimewaan untuk membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam menyikapi situasi. seandainya sang mandor, yang melaporkan nenek minah, memanfaatkan keistimewaannya untuk berlaku bijaksana dengan tidak melaporkan perbuatan nenek minah, maka sistem hukum tidak perlu bergerak. hukum hanyalah suatu sistem yang tidak memiliki hati. kitalah, manusia-manusia bebas, yang memiliki hati.

sumber gambar: http://www.kuemin-law.ch/Angebot/justitia.gif

4 tanggapan:

Ayu Kinanti Dewi mengatakan...

ada aksi, ada reaksi...
&Tuhan yang Maha Adil-pun tidak tidur...

temon mengatakan...

mengutip bibit dalam wawancara di salah satu stasiun televisi:

"kalo haya mengacu ke jurisprudesi formal, hidup jadi kering"

iqbal mengatakan...

kalo kita jadi mandornya, ngeliat kenyataan ada 100 kasus pencurian tiap hari, masing2 3 buah, dan karena itu kita dicubit atasan, apa kita bakal diam terus?
mugkin itu jadi salah satu pelajaran buat warga, mungkin ternyata ibu minah nyuri tiap hari 2 kali dan itu jadi kerjaan dia malah... mungkin juga nggak...
karena masih serba mungkin, apalagi kita tau sendiri ketidak berimbangan media Indo, bakal lebih baik gak memvonis kali ya...

Rae mengatakan...

sejauh ini mungkin vonis hakim yang paling objektif. =D