waktu gue SD, temen gue, yang namanya Dido itu, paling males kalo disuruh piket kelas. pasti mangkir! sampe wali kelas gue yang super duper galak itu, Pak Yanto, juga gak sanggup nanganin dia lagi. akhirnya peraturan piket dibawa ke tingkatan yang lebih tinggi.
stick and carrot pun diberlakukan. sebenernya sih cuma ada stick, carrotnya gak ada. anak yang gak mau piket didenda 100 rupiah. maklum... masih taun 95-an... wali kelas dan ketua kelas gue berharap dengan adanya anceman denda kalo gak ikutan piket, maka si Dido bakal tumbuh kesadarannya untuk bisa ikutan piket kelas.
tapi apa nyana? ternyata Dido tak bergeming, piket tetap luput dari agenda dia. hukum pun ditegakkan. dido pun didenda. seratus rupiah ternyata tak seberapa. dido mengeluarkan dua ribu. katanya,"nih untuk satu cawu!" bendahara kelas dan ketua kelas pun bingung. Dido ternyata tetap tidak mau ikut piket.
beralih ke cerita lain... kalo lo termasuk orang yang sering ngikutin berita di koran dan tipi, atau lu cukup memperhatikan urusan pertambangan dan kehutanan indonesia, mestinya lu tau PP no 2 taun 2008 dong. PP ini menyangkut penerimaan pemerintah non-pajak dari penggunaan lahan hutan untuk kepentingan di luar kehutanan. singkatnya begini... hutan-hutan di Indonesia, termasuk hutan lindung, ternyata banyak yang digunakan untuk kepentingan ekonomi lain seperti pertambangan. tentunya hal ini dapat mengakibatkan fungsi hutan sebagai daerah resapan air, pencegah longsor dan banjir, serta penyedia oksigen menjadi tidak dapat berjalan dengan semestinya. sebagai bentuk "kompensasi" atas tidak berjalannya fungsi hutan tersebut, maka pemerintah memungut tarif untuk setiap jengkal lahan yang digunakan. tapi ternyata... tarif yang dipungut itu terlalu murah. penggolongan tarif dibedakan menjadi beberapa kategori, tergantung peruntukan lahan tersebut, tetapi yang paling mahal pun hanya seharga Rp. 300/m2. BAYANGIN!!!! MURAH AMAT!!! hutan yang punya fungsi yang bisa ngasilin keuntungan yang tak ternilai harganya untuk tiap meternya cuma dihargain seharga pisang goreng, bahkan lebih murah!
tentunya hal ini membuat geram orang-orang yang peduli terhadap hutan Indonesia. bagaimana bisa pemerintah kita bertindak ceroboh begini. tapi semua itu ada alasannya. kalau kita mau merunut akar permasalahannya, hal ini terjadi belasan bahkan puluhan tahun yang lalu, ketika perusahaan tambang besar dunia mulai masuk ke Indonesia. mereka sadar akan potensi tambang yang ada di hutan-hutan indonesia. untuk itu mereka melakukan pendekatan kepada pemerintah agar diberikan izin untuk menambang di dalam hutan. pemerintah pun gamang. di satu sisi, pendapatan negara bisa bertambah dengan adanya usaha pertambangan, tapi di sisi lain, negara juga sama saja berharap menuai badai dengan resiko bencana alam yang dapat ditimbulkan. sebagai jalan keluar akhirnya win-win solution pun diperoleh, yakni dengan cara mengizinkan penambangan di dalam lahan hutan, tetapi pihak pengembang pertambangan tersebut harus merelokasi hutan yang mereka gunakan tersebut di tempat lain. artinya jika mereka membabat 1juta hektar lahan hutan untuk kepentingan tambang mereka, maka mereka harus mencari 1juta hektar non-hutan untuk dihutankan.
ternyata langkah ini menjadi batu sandungan bagi perusahaan tambang yang malas mencari lahan dan mengembangkan lahan menjadi hutan. mereka mengambil jalan yang lebih mudah dan mendorong pemerintah untuk membuat peraturan yang sifatnya hanya membayar dengan harga murah.
seperti teman SD saya tadi, dia bisa lolos dari kewajiban moral hanya dengan membayar sedikit uang sebagai denda.
Rabu, April 23, 2008
PP 2 tahun 2008: jualan tanah harga pisang goreng
Dirangkai oleh Rae pada 2:54:00 PM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 tanggapan:
Posting Komentar