Senin, Juni 25, 2007

pilih langsung... ini demokrasi, bung!

"syahdan tersebutlah "sapta" sebuah kedai makan yang ramai akan pikuk manusia. terutama di kala mentari berteriak dengan lantangnya. tak hanya mereka yang beristirahat barang sejenak dari ladang ilmu pengetahuannya, tapi vertebrata lain pun banyak yang menilik berkah yang terkandung dari sapta.

kala itu, dua ekor kucing sedang menanti berkah yang turun dari sisa makan kaum cerdik pandai. kebetulan sekali, kaum cerdik pandai itu adalah dua orang rekan sejawatku. dalam aroma sop murah mereka bercengkrama laiknya dua sahabat yang baru bertemu selepas perpisahan yang panjang. selesai makan, tertinggallah onggokan piring kotor beserta sisa makanannya. sepotong tulang ayam adalah yang paling jelas terlihat di atas piring tersebut. perut sudah kenyang, piring telah kotor, namum kedua cerdik pandai itu belum lagi menanggalkan tempat duduk mereka. kedua piring tadi disingkirkan ke samping mereka.

satu kucing sadar bahwa apa yang masih tersisa di atas piring itu adalah halal baginya. maka dari itu, ia melompat ke atas kursi, lalu naik ke atas meja. dengan seksama dia mengendus isi piring. mengharap ada barang sepotong rejeki untuknya. tatkala tulang ayam terendus, salah seorang rekan saya itu mengusir kucing yang dengan lancangnya naik ke atas meja. agaknya dia tidak suka kaki kucing yang kotor itu berada di tempat makan yang seharusnya bersih.

kucing turun dengan tangan hampa. cerdik pandai yang lain lalu berkata, "wah, lo MUTUSIN REJEKI kucing tuuuh... kan dia mau makan...." , sembari berkata demikian, ia mengambil tulang ayam itu, lalu melemparnya ke hadapan kucing yang tadi naik ke atas meja. dengan sigap sang kucing menangkap tulang yang melayang di hadapannya. si kucing lalu menikmati santap siangnya.

kucing satu makan, kucing lain masih melongo. kucing lain mendekati kucing satu. mengharap sedikit welas asih dari kucing satu. bukan untung, malah buntung yang didapat. kucing satu rupanya tidak sudi berbagi tulang. tulang adalah miliknya dan itu berlaku untuk selamanya. kucing satu menyerang kucing lainnya karena merasa santapannya berada dalam situasi yang tak menguntungkan. dua kucing berkelahi karena sepotong tulang.

melihat hal itu, rekan cerdik pandai yang tadi mengusir kucing satu dari meja berkata,"tuuh kan... gara-gara lo! lo malah MUTUSIN TALI SILATURAHMI kucing jadinya." "

sepenggal cerita gak mutu tadi memulai postingan gue kali ini. gue mau ngomong, gak selamanya yang lo liat bener itu, bakal jadi bener dalam kondisi makro. hidup selalu dipenuhi dengan pilihan-pilihan. beberapa pilihan amat mudah untuk diambil solusinya. beberapa yang lain rumit. beberapa yang lain menjadi jebakan, terlihat mudah jika dipandang sekilas, tapi menjadi rumit apabila dipikirkan masak-masak. contoh dua kucing dan dua cerdik pandai itu adalah salah satunya. setiap kita mungkin akan menilai tindakan memberi tulang ke kucing adalah pilihan yang baik. tapi taunya malah bikin kucing berantem.

pengambilan keputusan adalah kunci dari baik ato nggaknya hasil yang kita dapet nantinya. lalu apa yang menjadi dasar pengambilan keputusan? sayang banget... di alam demokrasi ini kita terlalu mengagung-agungkan suara rakyat. vox populis, vox Dei. suara rakyat, suara Tuhan. siapa yang mengklaim? emangnya begitu? gak selamanya yang dimauin itu adalah yang terbaik.

sebenernya dalam demokrasi yang dianut indonesia ada nilai-nilai kearifan dengan mengambil keputusan secara musyawarah untuk mufakat. dalam bermusyawarah, kita kedepankan segala argumen dan pertimbangan untuk mencapai mufakat. dengan berlandaskan pada akal sehat dan budi pekerti yang luhur, sangat mungkin keputusan yang diambil memang adalah yang terbaik.

tapi apa kabar indonesia hari ini? pemilihan umum secara langsung. kalo begini caranya, ini lebih mirip yang kuat, yang berkuasa. siapa yang bermassa, dia yang berjaya.

pertanyaannya...
apakah pemilihan umum secara langsung memang lebih baik?
atau musyawarah anggota DPR (walopun katanya anggota DPR itu korup-korup) untuk memilih presiden itu lebih baik?
ato ada mekanisme laen yang bisa lebih mengedepankan akal sehat dan lebih menghargai hak-hak kaum minoritas?

ini pertanyaan yang amat menjebak. dan dibutuhkan kearifan untuk menjawabnya. terus terang gue nggak punya jawabannya, tapi kalo lo punya, kenapa gak dibagi ke yang laen?

0 tanggapan: