Selasa, April 18, 2006

empati dan toleransi

waktu umur gue baru tiga taun, gue dapet kesempatan yang mungkin jarang didapet sama anak indonesia seumur itu ketika itu. gue dapet kesempatan ikut orang tua gue ke filipina. kenapa gue bilang beruntung? bukan karena lantas gue bisa berbangga-bangga di depan temen-temen gue atau asyik bisa jalan-jalan ke luar negeri, tapi karena di sana gue bisa belajar tentang toleransi.

ketika itu gue tinggal di kota Los Banos, di sebelah utara filipina, di pulau Luzon. Los Banos hanyalah sebuah kota kecil yang jaraknya sekitar satu jam perjalanan dengan bus dari Ibukota Manila. kalau bukan karena IRRI (international rice research institute) dan UPLB (University of Philippines at Los Banos) pastilah kota itu akan menjadi sangat tidak menarik. tahun pertama gue di sana, gue hanya berdiam diri di rumah dan bermain dengan kawan-kawan anak-anak mahasiswa pasca dari berbagai negara yang kebetulan tinggal satu Doom dengan keluarga gue. bayangkan, multikultur,multireligi,multiras,dan multi-multi yang lainnya. tahun kedua gue dimasukin ke kindergarten yang ada di kota tersebut. karena Los Banos adalah kota kecil, maka tidak terlalu banyak pilihan kindergarten. dengan mempertimbangkan berbagai aspek, maka dimasukkanlah gue ke salah satu TK Katholik yang ada di kota itu.

ceritapun dimulai...
perbedaan budaya sangat terasa, dan terkadang hal ini membuat benturan-benturan kepentingan. kindergarten adalah sebuah sarana untuk membentuk mental dan perilaku anak. maka tak heran jika pelajaran berdoa pun menjadi salah satu agenda utama, terlebih lagi sekolah ini didirikan oleh yayasan keagamaan. salah satunya adalah ketika akan makan. si teacher bilang,"lets pray!", dan serta merta semua murid menutup matanya dan menutup kedua tangannya dan dengan khidmat memohon berkah atas makanan yang telah diberikan. sementara gue yang dalam institusi keluarga juga sudah dididik bagaimana tata-cara berdoa secara islam, melakukan ritual yang berbeda, yaitu dengan tangan terbukamenengadah ke atas. pada kesempatan pertama, gue dan si teacher sempat beradu argumen tentang ritual gue yang dianggap nyeleneh.namun, pada akhirnya, si teacher bisa memaklumi hal ini.

kejadian kedua terjadi pada akhir tahun pelajaran. gue bakal diwisuda oleh TK gue. sebagai informasi tambahan, TK gue terletak pada satu kompleks pendidikan yang terdiri dari TK sampai SMA. di dalam kompleks ini juga terdapat gereja. nah, selain sebagai tempat peribadatan, gereja ini juga dipakai sebagai hall. dua hari menjelang wisuda, diadakan rehearsal (gladi resik). gue asoy geboy aja diajak keluar kelas, tapi begitu tau rehearsalnya di dalem gereja, gue langsung bilang,"no, maam. i'll just stay outside!"."but we have to do the rehearsal, rae...", si teacher berusaha membujuk gue. pokoknya akhir kata, gue sampe diseret-seret sama guru gue buat masuk k gereja. tapi gue tetep bersikukuh di luar. akhirnya guru gue ngalah, dan ketika waktunya pulang sekolah, si teacher laporan ke nyokap gue kalo gue nggak mau latihan buat wisudaan. di rumah, nyokap gue dan gue berdiskusi tentang masalah tadi. pada akhirnya gue diberi pengertian bahwa gue di gereja itu bukan untuk beribadah tapi untuk wisudaan, so it just okay. akhirnya gue mau wisudaan di dalem gereja.

konyol? nggak juga. anak kecil adalah contoh manusia yang relatif lebih jujur dibandingkan dengan manusia dewasa. apa yang gue rasain di dua kasus tersebut adalah bentuk ketidaknyamanan gue sebagai kaum minoritas. sementara kaum mayoritas kurang dapat berempati atas apa yang dirasakan oleh kaum minoritas. maka dari itu dibutuhkan dialog untuk menjembatani permasalahan yang ada diantara kedua kaum tersebut.

lihatlah kasus yang ada di sekitar gue sekarang. gue ngeliat rasa toleransi itu udah semakin menipis. seolah-olah yang terjadi sekarang ini adalah beberapa golongan ingin memaksakan keinginannya. yang pasti pelajaran yang gue dapet dari negeri seberang itu adalah, mungkin kita bakal ngerasa santai aja ngelakuin sesuatu, karena dalam budaya kita hal itu emang biasa. sementara bagi komunitas lain, hal itu sangat membuat mereka ngerasa nggak nyaman, nemun mereka nggak berani berbuat apa-apa karena mereka hanyalah minoritas. pada akhirnya kaum minoritas itu terpaksa ngikutin aturan kaum mayoritas sementara di dalam hatinya mereka menaruh kekecewaan yang sangat mungkin bermetamorfosis menjadi imagonya,yaitu dendam.

0 tanggapan: