Rabu, Agustus 06, 2014

Kacamata Biru dan Langit yang Tak Pernah Mendung

Jadi ceritanya beberapa bulan yang lalu gua kembali iseng ikut kompetisi-kompetisian. Kompetisi kali ini adalah membuat video klip dari The Fly. Hadiah utamanya adalah dua unit telepon seluler, sedangkan hadiah hiburannya memorabilia dari personil The Fly.


Video klip berhasilkan diselesaikan sesuai dengan tenggat yang disyaratkan. Awalnya sih lumayan optimis menang. Gimana gak optimis, lha wong peserta yang masukin video klip cuma satu orang. hehehe... Eh ternyata, batas pengumpulan video klipnya diundur sampai dua kali. Dalam periode itu masuklah dua video klip dari peserta lain. Di akhir pengumuman jadilah video klip gua di urutan paling bontot. 


Agak gondok juga sih gara-gara batas waktu pengumpulannya diundur dua kali. Kalo gak kan, gua sekarang lagi megang box ponsel baru. Tapi dibandingin dua video klip lainnya, emang video klip gua yang paling sedikit effort-nya sih. Jadi emang pantes di posisi ke-3. Heu...

Nah, salah satu memorabilia yang jadi hadiah ternyata adalah sun glasses warna biru. Dalam hati gua terkekeh karena punya pengalaman konyol dengan kacamata biru (mau nulis istilah "kacamata hitam" kayaknya kurang pas).

Gak jadi dapet Galaxy Champ. Hiks...

Jadi cerita kacamata biru ini terjadi di 2010. Gua masih jadi petani tebu di grup perusahaan tebu yang punya areal kebun paling luas se-Sumatera. Sebagai petani, tentu kerjaan sehari-hari adalah keliling-keliling kebun. Areal yang jadi tanggung jawab gua ketika itu sekitar 4.500 hektar, lumayan luas. Untuk operasional sehari-hari, kendaraan yang dipakai adalah sepeda motor. Beda dengan di jalan aspal di mana standar pelengkapnya adalah helm, di perkebunan ini tradisinya adalah memakai topi cap, slayer, dan kacamata hitam. Memakai helm di tengah cuaca panas dan berdebu membuat kepala mudah berkeringat dan sama sekali gak nyaman. Makanya orang lebih banyak yang milih pakai topi, slayer, dan kacamata sehingga kontak kulit dengan angin lebih banyak.

Sebagai nubie di bidang perkacamataan, gua milih beli sun glasses di abang-abang pinggir jalan yang harganya cuma Rp 15.000,-. Dari beberapa model yang ada di display, gua milih kacamata dengan film berwarna biru.

Sekedar saran, kalau mau beli sun glasses sebaiknya jangan yang dari abang-abang di pinggir jalan. Sun glasses yang baik adalah yang punya anti-UV. Ketika kita memakai sun glasses, pupil kita cenderung membesar karena cahaya yang masuk ke retina sedikit. Walaupun cahaya yang masuk sedikit, sinar ultra violet dari matahari yang masuk tetap banyak. Ketika pupil mata membesar, UV yang masuk tentu makin banyak. Di situlah perlunya sun glasses dengan anti-UV.

Pengalaman pertama gua make kacamata itu adalah dalam perjalanan dari rumah ke areal kebun yang jaraknya sekitar tiga jam perjalanan sepeda motor. Helm full face dengan visor dibuka ditambah sun glasses. Kecepatan motor biasanya di atas 60 km/ jam. Beberapa kali sempat pasang 110 km/ jam di atas aspal mulus Lintas Timur Sumatera. 

Sepanjang perjalanan sebenarnya gua gak khawatir sama sekali dengan perubahan cuaca, langit selalu cerah. Sampai sekitar dua jam perjalanan tiba-tiba tetesan rintik hujan menerpa punggung tangan. Padahal langit masih cerah. Karena merasa aneh, akhirnya gua lepas kacamata murahan itu. Eng ing eng... ternyata mendung berat sudah menggantung. Gara-gara film kacamata yang warna biru, gua ngeliat langit masih biru, padahal kenyataannya sudah kelabu.

Kacamata itu akhirnya hilang. Entah diambil anak buah di meja kantor kontrol radio atau sekedar tertumpuk kertas-kertas laporan harian operasional truk yang tak kunjung diperiksa atasan. 

Sekarang kacamata biru itu "kembali" lagi dengan cara yang tak diduga. Seolah Tuhan hendak berkata pakailah kacamata ini, maka kau akan melihat semua baik-baik saja. Langit masih biru, tidak kelabu.

2 tanggapan:

MaYaNG's mengatakan...

Choker nya juga dipake ya,, kayanya keren kalo dipake.

Bong mengatakan...

Hi rae, Bong here.

Aku singgah sebentar saja, lagi penat kerja.

Jangan tanya erep. Udah lama kutinggalkan.