Selasa, Mei 01, 2012

Babak 1

Gugun setengah berlari mendahului rekannya yang lain memasuki ruang ganti. Dengan sigap, diambilnya sehelai handuk dari tumpukan, lalu ditaruhnya beberapa bongkah es batu di atasnya. Selesai menutup ice box, dipelintirnya handuk tadi hingga bongkahan es tadi tidak jatuh.

Satu per satu rekannya menyusul masuk ke ruang ganti. Begitu pula dengan Beni . Dengan bibir bawah pecah, pemuda kekar tadi memilih duduk di lantai dengan kaki berselonjor. Gugun menghampirinya, “Kompres pakai ini.”
Beni  menerima handuk berisi es dari Gugun lalu menempelkannya ke bibir bawahnya. Lamat-lamat handuk putih itu tergradasi merah darah. Tetes-tetes air dari es yang mencair mengalir dari ujung handuk, makin membasahi celana yang sudah terpapar keringat.
Muka-muka lelah dan frustasi terlihat dari semua pemain. Lebih jelas dari sebelas orang yang tadi bermain selama 45 menit lebih. Coach Erik masih belum terlihat di ruang ganti. Hanya ada official lain yang sibuk membantu memijat kaki para pemain.
Tak lama berselang, Coach Erik masuk. Muka-muka lelah tadi berubah seketika menjadi tegang dan serius. Mereka tahu sepuluh menit ke depan akan penuh dengan teriakan murka dari Coach. Tertinggal satu gol dan kehilangan satu pemain di ujung babak pertama. Tim tidak dalam kondisi yang baik. Apalagi kemenangan adalah syarat mutlak untuk menjauhkan diri dari zona turun kasta.
“TOLOL!”
Coach Erik melempar papan alas tempat ia biasa mencoret-coret skema permainan ke arah loker. Papan itu terpental hampir mengenai kepala Uwak Jaja, terapis klub, yang masih sibuk meregangkan otot-otot kaku Sigit.
Ruang itu hening. Tidak ada yang berani bersuara. Jantung Gugun berdetak dua kali lebih cepat. Lebih cepat daripada ketika ia harus beradu sprint dengan lawan. Ia tahu benar kesalahannya. Sesuatu yang harusnya tidak dia lakukan, apalagi dia adalah kapten.
“Dua hal! Yang pertama strategi! Permainan kalian tidak berkembang! Terlalu mengandalkan Sigit di kanan. Padahal kalian semua tahu stoper kiri mereka yang terbaik di liga ini,” Coach Erik melanjutkan.
“Wisnu! Harusnya kamu lebih berani main di luar, dekat garis tepi. Bukan justru ke tengah! Kelihatan sekali napasmu sudah payah. Masih berani kamu hisap kretek coklat kegemaranmu itu, Aku pastikan ini musim terakhirmu di sepakbola sebagai pemain.”
Yang diajak bicara hanya bisa menelan ludah. Rasanya asam, membuat Wisnu justru semakin ingin membakar sebatang lintingan tembakau. Sudah berkali-kali sebenarnya istrinya meminta ia untuk mengurangi candu yang satu ini, tapi apa daya, setan selalu berhasil membujuknya mengepul.
“Yang kedua! Sesi latihan saya mana yang mengajarkan kalian untuk mengintimidasi wasit?”
“Sebagai kapten, sudah kewajiban saya mewakili teman-teman protes ke wasit, Coach,” Gugun coba membuka suara.
“Apa kewajiban kamu juga mencengkram kerah wasit, heh!”
“Jelas sekali sikut Santos masuk ke mulut Beni! Bibirnya pecah! Hanya orang buta yang tidak melihat sikut itu! Gila namanya kalau wasit cuma bilang: Play On!”
“Jangan pernah mendebat wasit! Apa ada ceritanya keputusan wasit yang berubah gara-gara ada pemain yang protes? Kalau ada, coba bilang ke saya sekarang! Apa ada wasit menarik kembali kartu kuning yang sudah dia keluarkan gara-gara ditinju pemain yang protes? Apa pernah wasit merubah keputusan tendangan penalti menjadi tendangan gawang untuk pihak lawan hanya gara-gara didorong pemain yang protes?”
Semua diam. Begitu pula dengan Gugun. Udara kosong menjeda beberapa detak sebelum Coach Erik kembali melanjutkan, ”Wasit adalah penguasa di lapangan. Bisa jadi dia bodoh. Boleh jadi dia buta. Mungkin juga dia disogok. Tapi di atas lapangan, dia tidak pernah salah!”
“Aku paham kalian emosi. Boleh kalian protes keputusan dia, tapi jangan sekali-kali sentuh dia. Jangan pernah gelap mata. Tabu bagi anak didikku menyentuh wasit! Apalagi sampai mencengkram kerah lehernya! Aib itu namanya,” Coach melanjutkan ceramahnya.
Gugun hanya tertunduk lemas. Campur aduk perasaannya saat ini. Geram, kesal, dan sesal, semua menjadi satu. Karena tindakannya, tim kini hanya bisa dipimpin deputi kapten. Dia tidak akan bisa ikut keluar dari ruang ganti bersama rekan-rekannya untuk kick off babak kedua.
“Kita butuh setidaknya seri. Syukur-syukur menang. Playmaker kita sudah out,” Coach mengucapkan kalimat terakhirnya tanpa melihat ke orang yang dimaksud, Gugun, “Kita kalah jumlah, tapi bukan berarti kita tidak menyerang. Kita sudah tertinggal satu gol. Kalah 1-0 atau 10-0 tidak ada bedanya. Kita coba all out attack. Wisnu, kamu ganti posisi. Tidak mungkin lagi kamu kuat adu sprint di sayap. Atur serangan dari tengah, ikuti cara Gugun di babak pertama tadi.”
Coach Erik mulai memberi strategi baru, “ Untuk sayap kiri, Ucok masuk, ganti dengan Pedro. Pedro, I have to call you out this time. I’ll have Richard to be a single striker.”
Pedro yang belum terlalu fasih berbahasa Indonesia menghadirkan wajah bingung. Seketika ia menoleh ke Gugun yang duduk di sebelahnya. Berharap sebuah penjelasan yang lebih bisa ia pahami ketimbang satu kalimat terakhir dari Coach Erik. Tapi tidak ada kata yang terucap di antara mereka. Kebungkaman  mereka menyepakati satu hal, bahwa Coach Erik tidak akan suka ceramahnya diganggu diskusi mereka.


“Belakang, tetap disiplin. Permainan lawan sebenarnya tidak terlalu istimewa, babak kedua ini pasti tidak berubah juga, hanya mengandalkan Santos. Beni, terus tempel Santos seperti babak pertama tadi,” yang diajak bicara hanya mengangguk kecil sambil terus mengompres bibir bawahnya.
Ada sedikit gentar di hati Beni. Selain sikutan yang sempat mendarat di bibirnya, sebenarnya Santos berhasil lepas dari kawalannya beberapa kali. Beruntung lawannya itu sudah mulai dimakan umur. Ketinggalan 1-2 langkah bisa segera diatasi Beni dalam 1 detik saja. Tapi babak kedua nanti cerita bisa berbeda. Beni sadar benar bahwa staminanya sudah lumayan terkuras di babak pertama. 45 menit ke depan ia harus lebih ketat memarkir Santos yang licin.


Coach Erik masih terus memberi beberapa detil skema permainan di sisa waktu istirahat itu. Skema set piece sampai pergerakan tanpa bola. Dari omongannya, sama sekali ia tidak terpengaruh dengan hilangnya satu pemain. Formasi 3-5-2 berubah menjadi 3-5-1. Beruntung posisi Gugun adalah playmaker, bukan defender. Permainan bisa tetap ofensif tanpa harus mengorbankan pertahanan.
“Ok, Intinya adalah Kita belum kalah,” Coach Erik mulai memberi kata-kata penutupnya, “Bisa ada belasan peluang dalam satu babak. Satu peluang saja jadi gol, kita sudah dapat satu poin. Satu lagi peluang jadi gol, kita sudah berbalik unggul.”
Pintu ruang ganti terbuka, seorang panitia penyelenggara menjulurkan kepalanya, ”Tiga menit lagi, Coach.”
Coach Erik mengangguk. Dengan satu gerakan tangan, ia memerintahkan semua pemain dan official mendekat. Semua pemain, pelatih, dan official membentuk lingkaran kecil. Setengah berbisik Coach Erik kembali berpesan, “Aku minta kalian tetap semangat. Jangan pernah putus harapan. Kita bisa buat keajaiban malam ini. Main lepas, ayo kita beri penonton permainan bagus hari ini.”
Rembugan kecil itu diakhiri dengan teriakan Hu-hah dari tiap mulut yang ada. Satu per satu kemudian mereka keluar dari ruang ganti. Semuanya, kecuali satu orang. Gugun menjadi satu-satunya yang tersisa di ruang itu. Setelah beberapa detik menikmati kesendiriannya, Gugun mendekati lokernya untuk mengambil sabun dan bergegas menuju ruang shower.

2 tanggapan:

Unknown mengatakan...

temanya asyik. gaya bertuturnya enak diikuti. eksekusinya mantap; cuma 12 menit, tapi berisi. apalagi penutupnya: wah! cuma ... kenapa malah milih pake istilah "coach"? ikut arus ini mah. o ya, satu lagi: boros karakter, sampai terapisnya aja dikash nama.


aih, lagak gue. kayak udah sering nulis (cerpen) aja. =D

Rae mengatakan...

setelah dipikir-pikir, ternyata emang boros karakter. maklum nubie, kakaaak... =D