Gugun setengah berlari
mendahului rekannya yang lain memasuki ruang ganti. Dengan sigap, diambilnya
sehelai handuk dari tumpukan, lalu ditaruhnya beberapa bongkah es batu di
atasnya. Selesai menutup ice box,
dipelintirnya handuk tadi hingga bongkahan es tadi tidak jatuh.
Satu per satu rekannya
menyusul masuk ke ruang ganti. Begitu pula dengan Beni . Dengan bibir bawah
pecah, pemuda kekar tadi memilih duduk di lantai dengan kaki berselonjor. Gugun
menghampirinya, “Kompres pakai ini.”
Beni menerima handuk berisi es dari Gugun lalu
menempelkannya ke bibir bawahnya. Lamat-lamat handuk putih itu tergradasi merah
darah. Tetes-tetes air dari es yang mencair mengalir dari ujung handuk, makin membasahi
celana yang sudah terpapar keringat.
Muka-muka lelah dan frustasi
terlihat dari semua pemain. Lebih jelas dari sebelas orang yang tadi bermain
selama 45 menit lebih. Coach Erik
masih belum terlihat di ruang ganti. Hanya ada official lain yang sibuk membantu memijat kaki para pemain.
Tak lama berselang, Coach Erik masuk. Muka-muka lelah tadi
berubah seketika menjadi tegang dan serius. Mereka tahu sepuluh menit ke depan
akan penuh dengan teriakan murka dari Coach.
Tertinggal satu gol dan kehilangan satu pemain di ujung babak pertama. Tim
tidak dalam kondisi yang baik. Apalagi kemenangan adalah syarat mutlak untuk menjauhkan
diri dari zona turun kasta.
“TOLOL!”
Coach Erik melempar papan alas tempat ia biasa mencoret-coret skema
permainan ke arah loker. Papan itu terpental hampir mengenai kepala Uwak Jaja,
terapis klub, yang masih sibuk meregangkan otot-otot kaku Sigit.
Ruang itu hening. Tidak ada
yang berani bersuara. Jantung Gugun berdetak dua kali lebih cepat. Lebih cepat
daripada ketika ia harus beradu sprint
dengan lawan. Ia tahu benar kesalahannya. Sesuatu yang harusnya tidak dia
lakukan, apalagi dia adalah kapten.
“Dua hal! Yang pertama
strategi! Permainan kalian tidak berkembang! Terlalu mengandalkan Sigit di
kanan. Padahal kalian semua tahu stoper
kiri mereka yang terbaik di liga ini,” Coach
Erik melanjutkan.
“Wisnu! Harusnya kamu lebih
berani main di luar, dekat garis tepi. Bukan justru ke tengah! Kelihatan sekali
napasmu sudah payah. Masih berani kamu hisap kretek coklat kegemaranmu itu, Aku
pastikan ini musim terakhirmu di sepakbola sebagai pemain.”
Yang diajak bicara hanya bisa
menelan ludah. Rasanya asam, membuat Wisnu justru semakin ingin membakar sebatang
lintingan tembakau. Sudah berkali-kali sebenarnya istrinya meminta ia untuk mengurangi candu yang satu ini, tapi apa daya, setan selalu berhasil membujuknya mengepul.
“Yang kedua! Sesi latihan saya
mana yang mengajarkan kalian untuk mengintimidasi wasit?”
“Sebagai kapten, sudah
kewajiban saya mewakili teman-teman protes ke wasit, Coach,” Gugun coba membuka suara.
“Apa kewajiban kamu juga
mencengkram kerah wasit, heh!”
“Jelas sekali sikut Santos
masuk ke mulut Beni! Bibirnya pecah! Hanya orang buta yang tidak melihat sikut
itu! Gila namanya kalau wasit cuma bilang: Play
On!”
“Jangan pernah mendebat wasit!
Apa ada ceritanya keputusan wasit yang berubah gara-gara ada pemain yang
protes? Kalau ada, coba bilang ke saya sekarang! Apa ada wasit menarik kembali
kartu kuning yang sudah dia keluarkan gara-gara ditinju pemain yang protes? Apa
pernah wasit merubah keputusan tendangan penalti menjadi tendangan gawang untuk
pihak lawan hanya gara-gara didorong pemain yang protes?”
Semua diam. Begitu pula dengan
Gugun. Udara kosong menjeda beberapa detak sebelum Coach Erik kembali melanjutkan, ”Wasit adalah penguasa di lapangan.
Bisa jadi dia bodoh. Boleh jadi dia buta. Mungkin juga dia disogok. Tapi di
atas lapangan, dia tidak pernah salah!”
“Aku paham kalian emosi. Boleh
kalian protes keputusan dia, tapi jangan sekali-kali sentuh dia. Jangan pernah
gelap mata. Tabu bagi anak didikku menyentuh wasit! Apalagi sampai mencengkram
kerah lehernya! Aib itu namanya,” Coach
melanjutkan ceramahnya.
Gugun hanya tertunduk lemas.
Campur aduk perasaannya saat ini. Geram, kesal, dan sesal, semua menjadi satu.
Karena tindakannya, tim kini hanya bisa dipimpin deputi kapten. Dia tidak akan
bisa ikut keluar dari ruang ganti bersama rekan-rekannya untuk kick off babak kedua.
“Kita butuh setidaknya seri.
Syukur-syukur menang. Playmaker kita
sudah out,” Coach mengucapkan kalimat terakhirnya tanpa melihat ke orang yang
dimaksud, Gugun, “Kita kalah jumlah, tapi bukan berarti kita tidak menyerang.
Kita sudah tertinggal satu gol. Kalah 1-0 atau 10-0 tidak ada bedanya. Kita
coba all out attack. Wisnu, kamu
ganti posisi. Tidak mungkin lagi kamu kuat adu sprint di sayap. Atur serangan dari tengah, ikuti cara Gugun di
babak pertama tadi.”
Coach Erik mulai memberi strategi baru, “ Untuk sayap kiri, Ucok
masuk, ganti dengan Pedro. Pedro, I have
to call you out this time. I’ll have Richard to be a single striker.”
Pedro yang belum terlalu fasih berbahasa Indonesia menghadirkan wajah bingung. Seketika ia menoleh ke Gugun yang duduk di sebelahnya. Berharap sebuah penjelasan yang lebih bisa ia pahami ketimbang satu kalimat terakhir dari Coach Erik. Tapi tidak ada kata yang terucap di antara mereka. Kebungkaman mereka menyepakati satu hal, bahwa Coach Erik tidak akan suka ceramahnya diganggu diskusi mereka.
“Belakang, tetap disiplin. Permainan lawan sebenarnya tidak terlalu istimewa, babak kedua ini pasti tidak berubah juga, hanya mengandalkan Santos. Beni, terus tempel Santos seperti babak pertama tadi,” yang diajak bicara hanya mengangguk kecil sambil terus mengompres bibir bawahnya.
“Belakang, tetap disiplin. Permainan lawan sebenarnya tidak terlalu istimewa, babak kedua ini pasti tidak berubah juga, hanya mengandalkan Santos. Beni, terus tempel Santos seperti babak pertama tadi,” yang diajak bicara hanya mengangguk kecil sambil terus mengompres bibir bawahnya.
Ada sedikit gentar di hati Beni. Selain sikutan yang sempat mendarat di bibirnya, sebenarnya Santos berhasil lepas dari kawalannya beberapa kali. Beruntung lawannya itu sudah mulai dimakan umur. Ketinggalan 1-2 langkah bisa segera diatasi Beni dalam 1 detik saja. Tapi babak kedua nanti cerita bisa berbeda. Beni sadar benar bahwa staminanya sudah lumayan terkuras di babak pertama. 45 menit ke depan ia harus lebih ketat memarkir Santos yang licin.
Coach Erik masih terus memberi beberapa detil skema permainan di sisa waktu istirahat itu. Skema set piece sampai pergerakan tanpa bola. Dari omongannya, sama sekali ia tidak terpengaruh dengan hilangnya satu pemain. Formasi 3-5-2 berubah menjadi 3-5-1. Beruntung posisi Gugun adalah playmaker, bukan defender. Permainan bisa tetap ofensif tanpa harus mengorbankan pertahanan.
Coach Erik masih terus memberi beberapa detil skema permainan di sisa waktu istirahat itu. Skema set piece sampai pergerakan tanpa bola. Dari omongannya, sama sekali ia tidak terpengaruh dengan hilangnya satu pemain. Formasi 3-5-2 berubah menjadi 3-5-1. Beruntung posisi Gugun adalah playmaker, bukan defender. Permainan bisa tetap ofensif tanpa harus mengorbankan pertahanan.
“Ok, Intinya adalah Kita belum
kalah,” Coach Erik mulai memberi kata-kata penutupnya, “Bisa ada belasan
peluang dalam satu babak. Satu peluang saja jadi gol, kita sudah dapat satu
poin. Satu lagi peluang jadi gol, kita sudah berbalik unggul.”
Pintu ruang ganti terbuka,
seorang panitia penyelenggara menjulurkan kepalanya, ”Tiga menit lagi, Coach.”
Coach Erik mengangguk. Dengan
satu gerakan tangan, ia memerintahkan semua pemain dan official mendekat. Semua
pemain, pelatih, dan official
membentuk lingkaran kecil. Setengah berbisik Coach Erik kembali berpesan, “Aku
minta kalian tetap semangat. Jangan pernah putus harapan. Kita bisa buat
keajaiban malam ini. Main lepas, ayo kita beri penonton permainan bagus hari
ini.”
Rembugan kecil itu diakhiri dengan teriakan Hu-hah dari tiap mulut yang ada. Satu
per satu kemudian mereka keluar dari ruang ganti. Semuanya, kecuali satu orang. Gugun menjadi satu-satunya yang tersisa di ruang itu. Setelah beberapa detik menikmati kesendiriannya, Gugun mendekati lokernya untuk mengambil sabun dan bergegas menuju ruang shower.
2 tanggapan:
temanya asyik. gaya bertuturnya enak diikuti. eksekusinya mantap; cuma 12 menit, tapi berisi. apalagi penutupnya: wah! cuma ... kenapa malah milih pake istilah "coach"? ikut arus ini mah. o ya, satu lagi: boros karakter, sampai terapisnya aja dikash nama.
aih, lagak gue. kayak udah sering nulis (cerpen) aja. =D
setelah dipikir-pikir, ternyata emang boros karakter. maklum nubie, kakaaak... =D
Posting Komentar