Sabtu, Mei 31, 2008

Mengejar Fatamorgana Kesempurnaan

Dari jaman Nabi Adam sampai hari ini, manusia telah mencapai begitu banyak kemajuan, beberapa diantaranya bahkan amat menakjubkan dan tidak pernah disangka-sangka sebelumnya. Tidak akan ada orang di tahun 1700-an yang meyakini bahwa manusia akan pernah menjejakkan kakinya ke bulan. Bahkan bermimpi untuk dapat terbang membelah awan pun adalah sebuah mimpi yang terlampau mengawang-awang ketika itu. Tapi lihat hari ini, manusia telah mampu melewati mimpinya. Bukan hanya sekali, bahkan berulang kali. Garis batas antara mimpi dan kenyataan tiap hari selalu terdefinisikan ulang karena manusia selalu berhasil melampaui garis itu sedikit demi sedikit.

Orang yang hanya menyerah dalam sebuah rutinitas tanpa pernah merasa perlu dan tertantang untuk berpikir di luar kotak tidak akan pernah menjadi pembawa panji peradaban manusia yang berdiri di depan memimpin ummat manusia. Dibutuhkan visi yang jauh ke depan untuk membawa perubahan dan mengungkap penemuan. Einsten pernah melakukannya, Richard Nixon juga, Stan Lee pun demikian. Visi besar yang diusung oleh orang-orang besar itu adalah buah dari ambisi, semangat, nafsu, atau apalah orang akan mendeskripsikannya.

Sampai satu titik ambisi akan menjadi sangat berguna karena dapat berfungsi sebagai katalis kehidupan manusia. Manusia akan selalu berpikir untuk mendapatkan lebih banyak kemudahan di dalam hidupnya. Akan tetapi, masalah akan timbul ketika ambis itu telah melewati titik kulminasinya yang justru akan menghasilkan kerugian bagi manusia itu sendiri. Ibarat pedang bermata dua, ambisi justru dapat menikam empunya.

Ambisi tanpa dasar pemikiran yang manusiawi hanya akan menyesatkan manusia pada dahaga akan air laut, rasa tidak pernah puas. Sebenarnya rasa tidak puas adalah amat manusiawi, akan tetapi masalah akan terjadi ketika manusia mulai menjadi gelap mata, mulai melangkah dari memenuhi kebutuhan primernya ke kebutuhan lain yang secara esensi tidak ada manfaatnya. Ketika rasa lapar telah diganti dengan kehausan akan pujian dan ketika kehangatan rumah sebagai tempat bernaung telah mengalami eskalasi kepada ajang pamer kekayaan, maka sesungguhnya manusia telah kehilangan khittahnya sebagai makhluk dengan budi pekerti yang luhur. Di saat itu terjadi maka manusia sudah mengejar fatamorgana kesempurnaan dan bukan lagi mengejar kemudahan bagi hidupnya.

Kesempurnaan adalah sebuah konsep dari suatu kondisi yang paling ideal bagi manusia. Sebuah konsep yang sebenarnya tidak akan pernah dapat dicapai oleh manusia. Memang kesempurnaan adalah sebuah konsep yang sangat dilusif yang mampu membuat orang terus mengejar sampai manusia kehabisan waktu untuk apa yang tidak akan pernah didapatkannya ketimbang mensyukuri banyak hal yang telah ia terima. Pada satu titik kita harus sadar untuk berhenti mengejar dan mulai menikmati sekaligus mensukuri apa yang sudah kita miliki.

Pada akhirnya, manusia harus selalu dapat mengendalikan ambisinya, dan bukan sebaliknya. Oscar Wilde pernah berkata, ”Ambition is the last refugee of failure,” ambisi adalah perlindungan terakhir dari kegagalan. Setelah ambisi yang sejati terlampaui, maka ambisi hanya akan membawa kehancuran bagi manusia itu sendiri.

2 tanggapan:

Anonim mengatakan...

postingan yang ini mengingatkan gue akan kisah dorian grey..

Rae mengatakan...

the picture of dorian grey

kan itu emang bukunya oom wilde!!!