Siang itu mendung. Hujan dari pagi turun. Sesekali berhenti. Tak lama kemudian kembali guyur. Beriterasi dalam siklusnya. Di sempitnya salah satu celah waktu itu saya keluar dari ruangan. Menjejaki aspal-aspal basah, melompati satu dua genangan yang memantulkan bayang kanopi pucuk merah. Sesekali saya harus mengalah pada genangan yang menganak sungai. Sumbat serasah yang terlambat diangkat pada selokan di sisi kanan membuat air memintas ke selokan di sisi kiri yang lebih rendah.
Empat menit empat puluh delapan detik kemudian saya sampai di muka pintu rumah makan Padang. Pas pula adzan dzuhur menggaung di udara. Belum ada pembeli lain di ruang makan. Seorang bapak muda melayani saya sembari diusili anaknya yang tingginya baru sedengkul lewat. Bapak sudah hapal lauk-lauk pilihan saya. Asam padeh, kembung bakar, atau ayam goreng. Tiga pilihan itu ditawarkannya. Hari itu saya agak malas makan ikan, maka ayam goreng yang saya pilih. Tak lupa catatan tambahan, "Minta dada ya."
Dengan sigap, ia memilah-milih dari potongan yang ada. Saya pun duduk di salah satu meja. Menghadap meja makan beralas kaca gelap, memunggungi pintu masuk, beralas kursi lipat merah. Tujuh detik berselang, Istri bapak tadi datang membawa segelas belimbing teh tawar hangat bersama air kobokan dalam cawan baja tahan karat - lengkap dengan irisan jeruk nipis a la kadarnya. Belum selesai teh disajikan, sang suami sudah datang bersama sepiring makan siang saya. Setangkup nasi, sejumput daun singkong rebus, sepotong kecil nangka, campuran sayur kacang panjang dan kol, serta tak lupa ayam goreng. Oh, iya. sesendok makan bumbu rendang di sisi dan sesendok sayur kuah gulai mengguyur nasi putih yang uapnya masih menguar.
Makan siang dimulai. Sesekali mata saya memperhatikan siaran berita di TV yang tergantung di atas lemari. Masih di ruang pandang, ada sebuah etalase tinggi yang tadinya biasa menjajakan berbotol-botol minuman berkarbonasi. Kacanya berhias tulisan R. M. Rimpun Padi dengan motif tulisan yang junjung di bagian tepinya menyerupai rumah gadang. Etalase itu sudah berubah fungsi. Dari balik kaca samar terlihat tumpukan baju yang belum disetrika. Tidak ada lagi warna-warni hitam, hijau, dan merah botol minuman.
Di balik etalase itu terlihat si bapak yang tadi keluar dari kamar mandi. Wajahnya basah terkena wudhu. Lepas berdoa, dia kenakan sarung kotak-kotak coklat muda. Masuk lewat kepala, dililit di bagian pinggang, dan digulung hingga mata kakinya tampak. Kemudian digelar sejadahnya. Ujungnya nampak menyembul melewati hadangan pandang etalase botol tadi. Ia hendak menunaikan sholatnya. Posisinya sudah menghadap kiblat, namun belum lagi niatnya terucap, Ia justru membalik badannya. Melihat-lihat ke arah pintu masuk. Khawatir jangan-jangan ada pembeli yang datang. Sudah jam 12 lewat, sudah waktunya makan siang. Tapi mungkin karena rintik kembali mengguyur, belum lagi ada pelanggannya yang datang.
Ia atur lagi posisi sholatnya, namun kembali terinterupsi. Kini Ia bicara dengan istrinya. Suaranya tenggelam dibalut gelombang penyiar TV yang sedang mewartakan penggerebekan pabrik narkoba. Dalam percakapan tersebut, beberapa kali lagi ia melongok ke arah pintu masuk.
Ia kembali ke sejadahnya. Namun sekali lagi dia urungkan dzuhurnya. Kali ini dia keluar dari ruang di balik etalase botol minuman ke arah ruang makan. Masih dengan sarung kotak-kotak coklat mudanya, dihampirinya satu-satunya pelanggan yang ada di ruangan itu lalu berkata, "Tambah, bang?"
Saya pun tersenyum sambil mengacungkan telunjuk kanan. Segera diambilnya sebuah piring kecil, dibukanya termos nasi, lalu dengan centong dari batok kelapa, diambilnya setangkup bulir-bulir putih. Tak lupa diluberinya nasi dengan sedikit kuah gulai, lalu diserahkannya piring tersebut di atas meja.
Ia kembali ke dalam ruang di balik etalase minuman botol. Berdiri di atas sejadahnya, mengangkat kedua tangannya, dan tenggelam dalam khusyuknya iftitah.