Berbeda dengan anak lain yang cita-citanya menjadi guru, dokter, presiden, dan AKABRI (jadi kompleks tentara gitu?), profesi pertama yang jadi cita-cita gua dulu adalah wartawan. Kenapa? Gak tau. Pengen aja. Bahkan cita-cita ini ada jauh sebelum gua punya kebiasaan menulis.
Ibarat jodoh tak akan lari ke mana, kesempatan karir pertama gua pun jadi pewarta. Jadi ceritanya, nama gua direkomendasikan oleh temen ke bosnya yang jadi pimpinan redaksi majalah beroplah kecil.
Singkat cerita, berhadapanlah gua dan pimred itu di ruangannya yang sebenarnya adalah kamar dari sebuah rumah yang sangat luas. Ketika itu gua belum lulus kuliah, hobi ngeblog, dan sebenarnya gak tau-tau banget perihal jadi wartawan. Tulisan gua lebih banyak berupa opini ketimbang reportase. Gak punya ide juga soal gaya tulisan Kompas, Media Indonesia, atau The Jakarta Post. Apalagi kalau ditanya afiliasi politik New York Times atau Washington Post. Blass, gak akan paham.
Produk jurnalistik yang pernah rutin dibaca mungkin hanya majalah HAI waktu SMA. Itu pun karena kebetulan punya uang agak banyak hasil nyisihin beasiswa. Selama kuliah, sesekali aja beli koran.
Wawancara itu gak berlangsung lama. Beliau hanya minta satu contoh tulisan gua. Gua kasih satu contoh tulisan yang menarik dan tidak tendensius yang bisa gua temuin di blog gua. Dia gak banyak komen, cuma dia ngasih pesan. Intinya, jangan sekali-kali memplagiasi karya orang. Secanggih apapun kamu tutupi, pasti akan ketauan.
Apakah beliau melihat tulisan gua seperti memplagiasi karya orang lain? Gak tau juga. Ya, mungkin juga itu wejangan template beliau untuk reporter-reporter barunya.
Lepas memberi penekanan pada pesannya itu, suaranya berubah menjadi santai dan membesar. Dia nanya, "Lu kalo baca Tempo, apanya dulu yang lu baca?"
Gua kaget denger pertanyaan kayak begini. Karena gua sendiri jarang banget baca Tempo. Pernah beli Tempo beberapa tahun sebelumnya pas lagi seru-serunya rapat di DPR soal bantuan likuiditas Bank Century yang diakhir dengan voting Opsi A, Opsi B, atau Opsi C.
Kenapa mesti Tempo? Kenapa gak Kompas? Kalau yang ditanya koran kan jawabnya gampang, "Halaman olahraga, pak. Terutama sepakbola dan F1."
Kalau Tempo? Tempo kan gak ada rubrik olahraga? Rubrik musik juga kayaknya gak ada. Padahal cuma dua itu yang mestinya jadi pilihan aman untuk gua.
Setelah gelagapan beberapa detik untuk mikir, akhirnya gua inget kalo Goenawan Mohamad punya rubrik Catatan Pinggir yang udah melegenda. Demi membalas defisit kekalahan karena gelagapan tadi, gua pilih ngejawab dengan bercerita ketimbang isian singkat seperti, "Catatan Pinggir, Pak."
Dengan agak belagu, gua bilang,"Gak tau kenapa, saya dari kecil kalau baca majalah itu selalu dari halaman belakang. Mulai dari majalah Bobo, Aku Anak Saleh, sampai Gatra. Jadi kalau baca Tempo, yang dibaca duluan ya Catatan Pinggir-nya, Mas Goen, Pak."
Catatan Pinggir memang biasanya ditaruh di halaman terakhir. Pak Pemred hanya mengangguk-angguk sambil mikir. Gak tau mikirin apa. Mungkin dalam hatinya dia bilang, "Leh uga nih bocah. Mana sok akrab pula manggil Mas Goen buat Goenawan Mohamad"
Terus dia bilang,"Kalau saya biasa baca rubrik humaniora karena bacaannya santai. Kalau baru mulai baca langsung Catatan Pinggir, saya pusing. Oke, deh. Makasih waktunya untuk wawancara."
Gua cuma angguk-angguk.