Senin, September 26, 2016

Di Tenda Nasi Goreng

Pria dan wanita itu duduk bersebelahan. Bersisian di bangku panjang, menghadap ke wajan yang pantatnya terpanggang. Di atasnya nasi terguncang-guncang. Teraduk bersama bawang putih cincang dan beberapa kecrot muntahan botol kecap murahan.

Api di depannya terasa membara. Tapi sisa hujan di belakangnya membuatnya diam membeku. Tak tahu harus bagaimana. Apa yang harus dikata.

Hatinya bimbang. Ribuan rasa terpental-pental dalam perutnya. Mulutnya asam, ingin memuntahkan ratusan kata. Tapi seteguk air teh tawar buru-buru  mendorong alfabet itu tenggelam kembali ke dalam kerongkongan. Menambah rasa yang makin tak karuan di perutnya.

Diulang-ulanginya kesimpulan yang telah Ia ambil. Ini fana. Terangnya nyata, tapi pasti akan segera hilang. Kembali ia rapal dua kata itu. Ini fana. Ini fana. Ini fana. Seperti seorang calon dokter yang sedang menghapal susunan belulang.

Sejurus kemudian, keyakinannya terkonversi. Tak mungkin menang besar tanpa bertaruh besar. Ambil tiap kesempatan. Singkirkan semua bimbang.

Desingan sutil beradu dengan wajan. Kobaran api tertiup angin dalam semawar. Ritmis air menetes dari ujung terpal. Hanya itu suara yang terdengar. Sampai Ia memutuskan untuk mulai membuka suara.

Percakapan seadanya di penghujung hujan. Sembari menunggu enam porsi nasi goreng terlipat dalam kertas makan. Dua karet untuk telur yang dipisah. Satu karet untuk yang dicampur. Kertas disobek untuk yang pedas. Kertas mulus untuk yang biasa. Berapa kombinasi bisa tercipta dari selera manusia?

Percakapan itu tak pernah mengerucut. Seperti seorang penulis yang terjebak dalam kombinasi enam bungkus nasi goreng. Telur dipisah atau dicampur. Pedas atau tidak pedas. Bilang atau tidak. Nyalinya kembang-ciut.

"Kenapa harus berpayung kala hujan?"

"Memang kamu mau demam?"

"Sepayung berdua atau masing-masing saja?"

"Kalau masing-masing punya, ya masing-masing saja."

"Kalau salah satunya memaksa untuk berdua?"

"Pasti ada apa-apanya."

"Kenapa?"

"Karena sepayung berdua artinya memaksa punggung lengan menampung hujan."

"Lalu untungnya apa?"

"Hati mereka berdekatan."

Nasi goreng matang. Terbungkus rapi dalam masing-masing lipatan. Potongan acar tercerai dalam plastik transparan, menunggu waktunya terciduk sesuai selera enam orang.

"Ayo kita pulang. Teman-teman pasti sudah lapar."

Gerimis mendaratkan tetesan air jarang-jarang. Yang satu membuka payungnya. Yang lain menahan.

"Sudah, kita pakai yang satu ini saja."