Sabtu, Juni 08, 2013

Ketika Indonesia Gagal Menemukan People’s Champion

Sumber: http://loymachedo.com/

William Hung, pria keturunan Asia, dengan kualitas suara di bawah rata-rata sekonyong-konyong menyedot perhatian Amerika Serikat. Kualitas penampilannya yang pas-pasan ternyata menjadi anti-tesis dari pakem yang selama ini dipegang industri musik Amerika Serikat. Angka penjualan album pertamanya mencapai 200.000 keping lebih. Dua album berikutnya juga mencatat hasil yang tidak terlalu mengecewakan, 35.000 dan 7.000 keping. 
Cerita William Hung di atas setidaknya membuktikan bahwa kualitas tidak selalu berbanding lurus dengan popularitas. Begitu banyak penyanyi dengan kualitas baik di dunia, tapi sejarah hanya mencatat segelintir saja. Hal ini amat disadari oleh industri musik dunia, termasuk di Indonesia. Kalau tidak, nama-nama seperti Kangen Band atau Mbah Surip tidak akan pernah menjadi fenomena di negeri ini.

William Hung; Sang Fenomena
Industri musik tidak melulu soal musik. Weird Al Yankovic menggabungkan musik dan humor. U2 memasukkan agenda-agenda politiknya dalam syair, Lady Gaga senantiasa tampil teatrikal. Industri musik bukanlah sekedar hiburan untuk memanjakan telinga. 
Ada sebuah pengalaman yang dituntut untuk bisa dinikmati dalam sebuah paket musik. Tuntutan yang lebih besar ketimbang sekedar suara indah. Maka dari itu, untuk menjadi seorang biduan yang populer dibutuhkan lebih dari teknik vokal yang mumpuni. Dapat dimengerti jika kemudian Simon Cowell mengkritik acara The Voice dengan blind audition-nya dengan berujar,”The Voice should have been on the radio.” 
Sebuah kritik mengenai bagaimana industri musik tidak bisa hanya mengandalkan kualitas vokal artisnya.
Dalam rangka mencari calon orang-orang populer di dunia musik, maka industri membutuhkan riset pasar. Industri berusaha memahami apa yang diinginkan konsumen. Tidak ada urusan soal bagus atau jelek. Apa yang pasar minta, maka itulah yang industri sediakan.
Maka lahirlah ajang pencarian bakat (talent show). Dengan penilaian yang didasarkan pada hasil voting masyarakat, setidaknya penyelenggara kemudian dapat menilai nilai jual seorang peserta dari dukungan yang didapat. Tujuan dari ajang ajang pencarian bakat seperti ini memang bukan mencari yang terbaik secara kualitas. Acara-acara model ini mencari apa yang disebut People’s Champion. Juara yang dipilih oleh rakyat. Serupa tapi tak sama dengan demokrasi.
Ajang pencarian bakat adalah sebuah riset pasar gaya baru. Jika sebelumnya riset pasar membutuhkan biaya yang besar, maka riset pasar melalui talent show tidak demikian. Riset ini justru menyenangkan banyak pihak dan yang utama bagi industri musik adalah: mengundang sponsor. 
Academia, Idol, X-Factor, The Voice, sebut saja yang lain. Semua acara tersebut adalah riset yang dilakukan industri musik untuk mencari tahu keinginan pasar. Terbukti, tak sedikit alumni dari acara-acara tersebut memang menjadi idola baru. Contoh yang paling gres tentu saja adalah One Direction yang merupakan jebolan X-Factor UK.
Indonesia, sebagai bagian dari masyarakat dunia, tentu tidak mau ketinggalan. Berbagai jenis franchise talent show mencoba peruntungannya di Indonesia. Mulai dari Akademi Fantasi, Indonesian Idol, sampai X-Factor berusaha “meriset” keinginan masyarakat Indonesia.
Setidaknya acara-acara model ini sudah berkiprah sekitar satu dasawarsa. Tiap musim acara berakhir, maka riset juga selesai. Idealnya, hasil riset kemudian di-up scale ke dalam skala industri. Namun ternyata, hasil riset yang ada selama ini lebih banyak melempem. Coba, alumni talent show Indonesia mana yang benar-benar sukses. Ada berapa banyak? T2 alumni AFI rasanya cukup lumayan. Kotak dari Dreamband juga cukup sukses. Sisanya? Hilang ditelan bumi. Delon? Justru lebih beruntung sebagai bintang film.

T2; Dari Sedikit yang Sukses (Sumber: http://music.oryn-cell.com
Mengapa riset pasar yang sudah dilakukan industri musik melalui talent show di Indonesia tidak “bunyi” di industri musik? Kalau boleh menduga, mungkin jawabannya adalah karena riset yang dilakukan di Indonesia tidak memenuhi “kaidah riset” yang baik dan benar untuk sebuah ajang pencarian bakat. 
Kegagalan ajang pencarian bakat Indonesia dalam menemukan sang People’s Champion amat berkaitan dengan sistem voting yang digunakan. Sebagai contoh, dalam acara American Idol, voting dilakukan melalui telepon. Satu nomor hanya memiliki jatah satu suara. Hal ini amat berbeda dengan sistem voting pada talent show yang ada di Indonesia di mana, penonton justru diminta untuk sebanyak-banyaknya melakukan voting
Adanya sampel yang terduplikasi dalam proses pemilihan, menjadikan hasil voting bias. Seorang peserta dengan seribu pendukung bisa saja mengalahkan peserta lainnya yang memiliki satu juta pendukung. Asalkan seribu pendukung peserta pertama tadi mengirim voting dengan akumulasi lebih dari satu juta kali. 
Jika hasil riset ini dinaikkan skalanya ke level industri musik sebenarnya, di mana prestasi ditunjukkan dari berapa kopi albumnya yang terjual, maka jelas sang pemenang akan melempem. Hasil maksimal pembelian kopi album hanya berkisar di angka seribu keping. Padahal data risetnya menunjukkan ada satu juta lebih penggemarnya. Realisasinya hanya 0,1%.
Hal ini amat mungkin terjadi. Salah satu faktor pendukung terjadinya hal ini adalah panjangnya durasi voting. Jika di ajang pencarian bakat luar negeri, voting biasanya baru dimulai setelah acara dan berakhir dalam beberapa jam, maka di Indonesia voting nyaris bisa dilakukan selama 24 jam, 7 hari seminggu. Voting terhadap seorang peserta bisa dilakukan bahkan sebelum peserta tersebut unjuk kebolehannya. Luar biasa.
Jumlah dan durasi voting yang begitu terbuka lebar tidak akan pernah menjawab siapa People’s Champion yang sebenarnya. Hasil voting hanya menunjukkan militansi dari pendukung masing-masing peserta. Dukungan terbesar mungkin tidak datang dari penilaian yang obyektif, melainkan dari kedekatan voter dengan peserta, entah itu sebagai keluarga, teman, satu sekolah, satu daerah, rekan kantor, dan sentimen-sentimen lain yang jelas tidak ada hubungannya dengan selera musik masyarakat pada umumnya.
Selain jumlah dan durasi voting, hal lain yang juga menjadi inhibitor ditemukannya sang People’s Champion adalah ongkos voting. Hampir seluruh ajang pencarian bakat di Indonesia menerapkan tarif kepada voter ketika memilih. Bukan hanya tarif biasa, namun tarif premium, yang harganya bisa sepuluh kali dari tarif normal! 
Mahalnya ongkos untuk menjadi seorang voter tentu saja berimbas pada para  swing voters, yang berasal dari masyarakat awam. Masyarakat yang tidak memiliki kedekatan emosional apapun dengan para peserta. Masyarakat yang justru paling obyektif untuk mendeskripsikan bagaimana selera pasar yang sesungguhnya.
Dengan diberlakukannya tarif premium, para swing voters justru akan lebih memilih menjadi golongan putih (golput). Hal yang kontras justru terjadi di Amerika Serikat di mana untuk melakukan voting, voter justru dikenakan layanan bebas pulsa sehingga swing voters tertarik untuk berpartisipasi. Semakin banyak swing voters bersuara, semakin handal hasil riset pasar tersebut.
Selama sistem voting yang diterapkan ajang pencarian bakat di Indonesia tidak berubah, maka jangan terlalu banyak mengharapkan People’s Champion lahir dari acara-acara model ini. Akan ada banyak People’s Champion gagal bersinar karena terkubur timbunan suara hasil voting bertarif premium peserta lain semenjak awal kompetisi.

Minggu, Juni 02, 2013

Kutukan Vokalis The Fly


Semenjak kemunculannya secara nasional di 1997 dengan lagu “Pelangi Semu”, band The Fly seperti tidak kehabisan masalah. Dianggap terlalu nge-U2, frustasi dengan industri musik Indonesia hingga ditinggal beberapa anggota utama, sampai gonta-ganti vokalis.
Setelah gagal secara komersial dengan album pertama, The Fly akhirnya mampu bangkit dari kubur meskipun hampir setengah anggota mereka rontok. Disangkal atau tidak, salah satu faktor kesuksesan The Fly ketika itu ada di warna suara vokalis mereka, B’jah.
Dengan suara syahdu, B’jah mampu menginterpretasikan lagu dengan baik. Coba saja dengarkan rekaman “Berlalu” dan “Izinkan” dari The Fly, cukup menjadi bukti shahih bagaimana B’jah mampu meninggalkan identitas suaranya pada sebuah lagu. Ironisnya Kin Aulia, sang gitaris, justru kerap merasa tidak puas dengan vokal B’Jah ketika membawakan lagu-lagu The Fly.
Namun kerjasama B’jah dan anggota The Fly lain harus berakhir pasca album “Keindahan Dunia”, tepatnya pada 2005. Masalah kedisiplinan dan komunikasi yang memburuk antar mereka diyakini banyak orang sebagai alasan utama keluarnya B’jah. Meskipun dalam beberapa wawancara disebutkan bahwa B’jah ingin berkonsentrasi dengan pendidikannya yang terkatung-katung.
Lepas dari B’Jah, The Fly tetap ngamen ke mana-mana dengan vokalis-vokalis catutan. Nama-nama seperti Ariyo Wahab dan Ipang Lazuardi sempat beberapa kali diplot sebagai vokalis. Sampai pada 2006 akhirnya Firman, yang jebolan Indonesian Idol II, disepakati sebagai vokalis The Fly.
Sebagai catatan, di era ini, The Fly memiliki beberapa ide yang cukup unik ketika manggung. Dalam salah satu acara televisi, mereka tidak hanya memainkan sample suara, namun sample video berisi gambar dan vokal dari Gian. Permainan live dengan sample ini memberi kesan duet antara Gian yang live dan Gian di sample.
Gimmick yang diberikan kepada Firman untuk membangun identitasnya sebagai vokalis The Fly sudah cukup baik. Misalnya saja, tongkrongan Firman disesuaikan dengan imaji The Fly yang rapi dan kerap berkacamata hitam. Selain itu, untuk menghilangkan imaji Indonesian Idol yang begitu melekat, The Fly menyiapkan nama panggung “Gian” yang diambil dari nama KTP-nya sendiri, Firman Siagian. Mungkin nama Firman akan tetap dipakai kalau bandnya bernama “The Prophet”. Sayang kerjasama ini hanya bertahan untuk satu album (If Loving You Is Wrong, I Don’t Want To Be Right) di tahun 2007.
Seakan sejarah berulang, proses keluarnya sang vokalis ternyata meninggalkan cerita tidak enak. Keinginan Firman (atau Gian?) untuk bersolo karir dengan musik melayu mendapatkan resistensi dari anggota The Fly yang lain. Entah karena khawatir The Fly akan dinomorduakan atau pilihan Firman akan musik melayu dianggap akan menodai “darah biru” rock n’ roll The Fly, yang jelas kerjasama mereka bubar jalan.
Nampaknya kehilangan vokalis untuk kedua kalinya cukup memberi trauma pada The Fly. Semenjak keluar pada pertengahan tahun 2009, Sinar The Fly meredup. Tanda-tanda kehidupan band ini mulai kembali terdeteksi pada April 2010. Ketika itu, mereka menjadi salah satu pengisi acara Rolling Stone Release Party bersama Komunal, The Authentics, dan Seringai. Cuma ada yang janggal ketika itu, The Fly tidak memakai nama The Fly, tapi “Project The Fly”.
Dari beberapa review gig yang ada di Internet, penampilan Project The Fly ketika itu tidak mendapat sambutan antusias dari penonton. (Project) The Fly yang sebelumnya dicap U2 banget, sekarang justru dicap ke-“Muse-Muse”-an. Penghakiman ini hadir karena Project The Fly menghadirkan vokalis dengan suara falsetto (yang kemudian diperkenalkan sebagai vokalis The Fly berikutnya). Project The Fly mendapat kritik seperti band yang limbung dan hilang arah. Musik mereka terasa mentah sampai-sampai Kin (mungkin) merasa gak percaya diri dan bertanya ke penonton, “Lagunya agak aneh ya?”
Satu tahun berlalu, paruh kedua 2010, The Fly mulai aktif di sosial media. Mereka pun mengumumkan rencana rilis album baru dengan vokalis baru. Ketika ditanya apakah mereka akan memakai nama “The Fly” atau “Project The Fly”, Kin menjawab, “Namanya tetap The Fly kok.”
Sempat molor beberapa lama, akhirnya album baru The Fly keluar di 2011 (A New Beginning From Another Beginning’s End). Keluarnya album baru ini sekaligus memperkenalkan vokalis baru mereka, Teddy.
Secara musikalitas, The Fly jelas berkembang ke arah yang baik. Suara-suara yang mereka hasilkan semakin rumit, namun di saat yang bersamaan juga indah. Memang nuansa Muse terasa di beberapa sisi. Tapi ayolah, terinspirasi band lain itu kan sah-sah saja.
Mungkin tidak semua orang bisa dengan mudah mencerna musik di album ini, namun boleh dibilang inilah album rekaman The Fly yang paling matang, walaupun tidak semua penggemar mereka menyukai perubahan yang begitu drastis ini.
Entah kutukan atau apa, pada pertengahan 2013, The Fly mengumumkan bahwa posisi vokalis mereka tidak lagi diisi oleh Teddy. Tidak begitu jelas apa yang terjadi di band ini. Setidaknya semoga mereka berpisah dengan baik-baik, tidak seperti dua vokalis sebelumnya. Ketika Kin ditanya mengenai apa yang terjadi dengan Teddy, Ia hanya menjawab bahwa album bersama Teddy hanya sebuah proyek. Ia pun menjanjikan bahwa album berikutnya akan kembali ke akar musik The Fly. Apakah artinya The Fly tidak akan terasa Muse lagi? Apakah The Fly akan kembali terasa seperti U2? Tentu idealnya The Fly akan terdengar seperti The Fly.
Lelah berganti-ganti vokalis akhirnya band ini mempercayai sang frontman Kin Aulia untuk memperluas hegemoninya di band. Kini Kin Aulia juga merangkap sebagai vokalis. Sebuah keputusan yang didukung banyak pihak, bahkan dari Adib Hidayat, Pimpinan Redaksi Rolling Stone Indonesia.
Pengumuman ini sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Hit pertama The Fly, Pelangi Semu, pun vokalnya diisi sepenuhnya oleh Kin. Padahal ketika itu, secara de jure vokalis The Fly adalah B’jah. Pemilihan Pelangi Semu sebagai lagu yang dibuatkan video klipnya membuat B’jah harus puas dengan hanya menggoyang-goyangkan badannya saja di video klip tanpa ikut bernyanyi.
Selain di Pelangi Semu, ada juga beberapa lagu The Fly yang vokalnya diisi oleh Kin seperti di lagu “Cahaya Kalbu”. Duet mautnya dengan B’jah di lagu Terbang juga melengkapi karakter vokal B’jah yang bermain di nada-nada rendah.
Kualitas vokal Kin memang tidak jelek. Dengan suara yang melengking, karakter suaranya memang pas membawakan lagu-lagu rock. Namun suara Kin sekarang bukan lagi sekedar pelengkap seperti Richie Sambora di band Bon Jovi yang hanya bernyanyi sekali-kali dalam sebuah konser. Kin tetap harus membuktikan bahwa dirinya mampu untuk  tampil secara live dengan bernyanyi penuh penghayatan sekaligus bermain gitar dengan repertoir panjang. Penghayatan menjadi faktor kritis dalam karir musik The Fly berikutnya, karena penghayatan lagu adalah ciri khas The Fly selama ini.