Selasa, Desember 18, 2012

Pulang: Kerinduan Akan Tanah Air



Pertama kali melihat sampul buku “Pulang” di toko buku, ingatan saya langsung menerawang pada sebuah  buku karangan Andre Gorz yang diterbitkan oleh Resist Book, Sosialisme & Revolusi. Pilihan warna, dan font serta corat-coret ilustrasi yang sejenis membuat saya menduga bahwa buku ini pasti juga nyerempet hal-hal yang berbau kiri. Ketika saya membalik buku tersebut untuk membaca sinopsis ceritanya di belakang, tentu saja, bulls eye!

Bandingkan cover Sosialisme & Revolusi
(Andre Gorz) dengan cover Pulang
Begitu eksotisnya tema kiri di Indonesia hingga tak terhitung lagi berapa banyak novel yang menyematkan peristiwa G30S(/PKI?) ke dalam isinya. Ayu Utami dalam buku “Manjali & Cakrabirawa” atau ‘Blues Merbabu”-nya Gitanyali mungkin bisa menjadi dua contoh aktual bagaimana novel populer era 2000-an pun masih menganggap seksi tema tersebut. “Pulang” pun mencoba peruntungannya di tema tersebut.
Dengan tebal cerita mencapai 451 halaman, “Pulang” mampu mencapai spektrum yang luas dalam ceritanya. Andai saya menjadi Leila S. Chudori, sang penulis, mungkin saya akan memilih untuk membagi cerita ini menjadi 2 buku seperti Ayu Utami yang membelah cerita “Laila Tak Mampir di New York” menjadi “Saman” dan “Larung”. Namun ternyata Leila tak memilih opsi itu dan cukup percaya diri melepas “Pulang” yang setebal batu bata ini dengan harga yang tidak ekonomis.
Kisah berputar pada kehidupan dua tokoh utama ayah-anak, Dimas Suryo dan Lintang Utara. Diceritakan bahwa Dimas Suryo, seorang jurnalis yang sedang mendapat tugas kantor untuk menghadiri pertemuan jurnalis di Santiago, Chile, tiba-tiba mendapati dirinya tidak bisa pulang ke tanah air. Bertepatan dengan kepergiannya tersebut, ternyata di Indonesia meletus peristiwa G30S. Sialnya dia dianggap salah satu simpatisan partai komunis yang dianggap sebagai pemberontak tersebut hingga paspornya dicabut.
Namun di balik kesialan tersebut, ada untungnya juga. Andai saja ia ada di dalam negeri, bukan tidak mungkin Dimas Suryo akan ikut diculik, dibunuh, lalu mayatnya berakhir mengapung di sungai seperti yang diceritakan Aji Suryo, adiknya, ketika berkorespondensi dengannya. Bersama 3 kawan lainnya yang menjadi eksil politik, Dimas, Nugroho, Tjai, dan Risjaf meretas jalan panjangnya sampai akhirnya berlabuh di Paris. Di kota yang indah ini, empat sahabat ini mencoba memulai hidup baru, termasuk memulai keluarga baru.
Cerita kedua kemudian beralih ke Lintang Utara. Anak dari Dimas Suryo hasil perkawinannya dengan Vivienne Deveraux, gadis Prancis yang ditemuinya pada sebuah peristiwa demonstrasi di Universitas Sorbonne pada Mei 1968. Lahir dan besar di Paris tidak membuat Lintang tercerabut dari akar leluhur ayahnya yang asli Indonesia. Kisah-kisah perwayangan, batik, kebaya, dan makanan-makanan khas Indonesia akrab dengan dirinya meskipun ia tak sekalipun pernah menjejakkan kakinya di indonesia. Sampai akhirnya, pada usia 22 tahun, dosennya di Universitas Sorbonne, memerintahkannya untuk membuat film dokumenter yang amat berkaitan dengan masa lalu ayahnya di Indonesia.
“Pulang” adalah sebuah novel yang boros tokoh. Namun tidak perlu khawatir, kemampuan Leila S. Chudori memberi karakter yang kuat pada tokoh-tokohnya membantu pembaca untuk dapat mengenali dengan baik tokoh-tokoh yang hadir di buku ini. Meskipun demikian, beberapa tokoh tetap terasa tidak penting sama sekali. Sebagai contoh Sumarno “Si Telunjuk” yang kehadirannya hanya ada di dua scene sama sekali tidak signifikan. Begitu pula rekan-rekan Segara Alam di LSM Satu Bangsa yang namanya bahkan tidak sampai sepuluh kali disebut di dalam novel.
Cerita kekejaman yang menimpa para anggota PKI dan keluarganya sudah banyak  kita dengar. Namun hanya sedikit yang mampu memberi kesan seperti yang dituturkan dalam kisah Surti Anandari berikut ketiga anaknya di buku ini. Uniknya, meskipun mampu memberi kesan yang mendalam, pendeskripsian kekejaman pihak militer yang dituturkan di dalam buku ini tidak brutal. Sebagai istri dari pegiat kiri, Hananto Prawiro, Surti harus merasakan beratnya tekanan mental ketika diinterogasi berbulan-bulan lamanya oleh pihak militer. Kisah yang dibumbui cinta segitiga antara Dimas-Surti-Hananto ini kemudian diakhiri dengan pilu ketika akhirnya Hananto ditangkap di tempat persembunyiannya. Tenang, ini bukan spoiler, scene tertangkapnya Hananto ini justru menjadi pembuka cerita novel ini.
Buku ini secara cerdas juga mampu menangkap fenomena Stockholm Syndrome seperti yang digambarkan dalam pernikahan Rukmini, mantan istri Nugroho yang buronan politik dengan Letkol Prakosa, tentara yang turut andil dalam membantai simpatisan komunis di Indonesia. Pernikahan antara yang diteror dengan yang meneror seperti yang terjadi pada kisah Rukmini dan Letkol Prakosa ini memang benar-benar banyak terjadi di dunia nyata.
Fragmen lain yang baik sekali ditampilkan dalam buku ini adalah bagaimana konflik yang terjadi ketika Rama, anak Aji Suryo, yang hendak menikahi Rininta, anak seorang Direktur di Perusahaan BUMN. Bagaimana sulitnya keluarga yang di KTP-nya diberi cap ET (Eks Tapol) dalam membangun kehidupan sosial di masyarakat yang sudah kadung benci kepada apapun yang berbau komunis. Saya sampai harus sejenak mengatupkan buku ini ketika Lintang berkata,”Bukan hanya nasi goreng!” kepada keluarga Rininta sebagai bentuk protesnya atas diskriminasi yang diberlakukan kepada ayah dan teman-temannya di Paris.
Untuk anak-anak generasi 2000-an seperti sekarang ini mungkin akan amat sulit membayangkan bagaimana “kesalahan” salah seorang anggota keluarga, katakanlah seorang paman, bisa diwariskan kepada keluarganya yang lain hingga harus menerima sanksi sosial yang dilegitimasi dalam peraturan pemerintah. Saya masih ingat sebuah film komedi jadul yang saya lupa judulnya (rasanya yang main adalah grup Pancaran Sinar Petromaks; PSP). Seorang pria hendak melamar pekerjaan sebagai sopir pada sebuah keluarga. Sebagai bekal melamar, dia melampirkan Surat Keterangan Bebas G30S/PKI. Saya yang naif ketika itu tertawa terbahak-bahak karena menyangka surat itu adalah bagian dari komedi. Namun ternyata tidak, Surat Keterangan Bebas G30S/PKI itu memang benar ada. Ketika mengetahui hal tersebut, saya tidak habis pikir. Betapa absurdnya surat tersebut. Betapa absurdnya Negara Indonesia. Betapa absurdnya Orde Baru.
Cara bertutur buku ini yang ringan mampu mengimbangi cerita sejarah politik Indonesia yang centang-prenang. Walaupun sebenarnya kadang saya sedikit terganggu dengan diksi yang dipakai Leila. Sebagai contoh, saya sangsi seorang Surti akan menggunakan kata “kuliner” dalam suratnya ke Dimas pada tahun tujuh puluh-delapan puluhan. Rasanya kata “kuliner” amat asing di Indonesia sampai pada tahun 2000-an akhirnya dipopulerkan oleh Bondan Winarno berikut frase “mak nyus” dan “top markotop”.
Korespondensi antara Lintang Utara dan Dimas Suryo juga terasa aneh dengan hadirnya diksi yang terlalu puitis seperti kata “kerap”. Memang Lintang dibesarkan dengan berbagai karya sastra, termasuk sastrawan Indonesia semacam Chairil Anwar atau Rivai Apin. Namun tetap saja aneh menggunakan kata seperti kata “kerap” di dalam korespondensi.
Bagaimanapun, “Pulang” mampu membalut roman kehidupan Dimas Suryo dengan kejadian-kejadian sejarah tanpa membuatnya terasa “kering”. Kisah-kisah kelam yang terjadi sepanjang medio 1965-1968 sudah banyak dituangkan dalam berbagai media seperti film dokumenter atau buku. Namun menceritakan kisah tersebut dengan mengangkat sisi humanis dalam sebuah novel seperti yang dilakukan Leila S. Chudori melalui “Pulang” jarang dilakukan. Bagaimana seseorang yang dibenci oleh bangsanya sendiri akan selalu merindukan tanah airnya. Bagaimana seseorang yang sudah sedemikian hangatnya diterima di negeri rantau akan selalu memendam hasratnya untuk dapat pulang.

Kamis, Desember 06, 2012

Life of Pi: Film yang Menyempurnakan

Banyak film adaptasi novel yang gagal menemui ekspektasi pembaca bukunya. Mungkin boleh dibilang trilogi Lord of The Ring adalah salah satu yang sukses. Sisanya, berakhir dengan cibiran penggemar novelnya. Sebut saja seri Harry Potter, dari 7 (atau 8?) filmnya tidak ada yang benar-benar bisa memuaskan penggemar fanatiknya.
Langkah yang kemudian bisa diambil adalah dengan membuat diferensiasi, sehingga penonton tidak melulu membandingkan film dengan novelnya. Langkah ini bisa dengan mengubah alur cerita atau mengubah sudut pandang dan cara bertutur. Saya masih ingat ketika menonton "A Walk to Remember", penyesuaian latar belakang tokoh dan sudut pandang bercerita cukup membantu penonton untuk tidak melulu membandingkan film dengan novelnya. Namun langkah ini tidak selalu berhasil. Langkah ini bisa jadi juga justru menjadi bumerang seperti twist yang coba disajikan Breaking Dawn part II dari saga Twilight.
Dalam film adaptasi novel karya Yann Martell, Life of Pi, Ang Lee sebagai sutradara ternyata memilih untuk strict (bahkan cenderung terlalu ketat) pada cerita yang ada di novel. Baik dari sisi cerita maupun cara bertuturnya. Sebuah langkah bijaksana, karena Ang Lee mendapat keuntungan dari kelemahan novel tersebut. 
Bukan, bukan berarti Life of Pi sebagai novel adalah buruk. Namun keterbatasan novel dalam memvisualisasikan kehidupan Pi di tengah laut mampu dieksploitasi dengan sangat baik oleh Ang Lee melalui gambar yang megah dan memukau. Apalagi kalau dinikmati dalam format 3D.

Life of Pi sendiri berkisah mengenai perjuangan Piscine Molitor Pattel, yang biasa dipanggil Pi (baca: Pay), anak muda dari India yang harus mempertahankan hidupnya di atas sekoci setelah kapal yang ditumpanginya karam di Samudera Pasifik. Tidak hanya berjuang melawan Samudera Pasifik, Pi juga harus menghadapi seekor Harimau Benggala yang ikut menumpang di sekocinya. Harimau yang juga selamat dari kapal karam setelah sebelumnya hendak dijual dari Kebun Binatang Pondicherry, India ke sebuah kebun binatang di Amerika Utara.  
Dalam perjalanannya tersebut, Pi mendapatkan keyakinan bahwa Tuhan selalu bersamanya. Di saat ia merasa Tuhan telah menelantarkannya, ternyata Tuhan kemudian memberinya harapan-harapan baru. Satu pesan moral yang sejujurnya saja tidak tergarap dengan terlalu baik. Cerita mengenai perjalanan spiritualitas Pi yang unik tidak tergarap dengan detil. Contohnya saja mengenai proses pengenalan Pi pada sinkretisme agama terasa terlalu cepat. Soal setuju tidaknya anda pada sinkretisme itu tentu soal lain.
Namun demikian, hal ini tidak membuat film ini menjadi lemah. Mungkin di sinilah diferensiasi Life of Pi sebagai novel dan sebagai film. Jika di novelnya, Life of Pi sering memunculkan sisi spiritualitasnya, maka di film, Life of Pi lebih menekankan pada petualangannya. 
Sebagian pembaca novel Life of Pi mungkin akan menganggap film ini tidak menemui ekspektasi mereka, namun sebagian yang lain mungkin justru menganggap film ini melampaui ekspektasi mereka. Tergantung bagaimana anda menaruh skala prioritas. Apakah lebih penting bagi sebuah film untuk menghibur atau lebih penting untuk menyelipkan pesan moral yang kuat. 
Sebagai jalan tengah, saya berpendapat, bahwa film Life of Pi menyempurnakan novel yang telah dibuatnya. Keterbatasan novel mampu ditutup dengan baik oleh filmnya, tanpa merasa perlu menyaingi kemahsyuran yang sudah dimiliki oleh novel tersebut.