Jumat, Agustus 12, 2011

Pancoran oh Pancoran

Tidak seperti biasanya, sore tadi Saya memilih TransJakarta ketimbang Kereta Listrik sebagai moda transportasi untuk pulang kerja. Ketika transit di halte Kuningan Barat, Saya mulai berfikir bahwa sepertinya saya salah strategi. Bagaimana tidak, paling tidak 20 menit Saya berdiri di halte Kuningan Barat sampai akhirnya bus yang ditunggu nongol.
Lalu lintas Jakarta sore hari pastinya macet, jadi tidak bisa dijadikan alasan untuk merasa bete, tapi petaka justru datang ketika bus mulai menanjak di fly over pancoran. Mesin mendadak mati total. Bus pun berhenti menahan laju kerumunan kendaraan lain di belakang. Setelah beberapa menit, akhirnya mesin kembali nyala, namun AC tidak bisa dihidupkan. Ketika akhirnya bus sampai di halte Pancoran Tugu, sopir dan ground staff (apa sih istilah pasnya? kalo di airways biasanya disebut ground staff. :-P) sempat berdiskusi apakah perjalanan dapat dilanjutkan dengan penumpang atau penumpang dievakuasi saja di halte tersebut. Lama juga diskusinya. Bikin makin bete. Sementara satu kaki saya di bus, sedangkan kaki lainnya di halte.
Naek-enggak-naek-enggak. Di tengah situasi yang penuh dengan ketidakpastian itu ternyata pemandangan di belakang lumayan bagus. Matahari mulai tenggelam menyisakan mega di langit barat sebagai latar. Sementara lakon yang pentas di ruang lihat adalah Patung Dirgantara atau yang lebih dikenal dengan nama Patung Pancoran.


Lumayanlah, kompensasi bete dapet gambar bagus.
  1. PS1: Halte Kuningan Barat sebenernya lokasinya lebih timur daripada Halte Kuningan Timur. Dan anehnya lagi, Halte Kuningan Timur ternyata posisinya lebih barat daripada Halte Kuningan Barat. Ini yang ngasih nama halte gimana sih? Gak sesuai dengan standar nomenklatur halte yang berlaku secara umum di industri bus kota.
  2. PS2: Setelah dilihat-lihat, ternyata gambarnya gak bagus-bagus amat. *mendadak bete lagi*


(A)Politik dalam Lagu

Sebenarnya iklim kebebasan berpendapat di Bandung sangat baik. Banyak muncul diskursus yang menelurkan dan mengembangkan berbagai jenis pemikiran. Mulai dari yang paling idealis sampai yang paling oportunis. Mulai dari kanan habis sampai kiri mentok.
Manifestonya dalam budaya musik mereka bisa dengan terang kita lihat. Mulai dari musik bling-bling urban sampai sampai shoegaze yang muram. Mulai dari pop yang terkena gejala ADHD sampai metal yang mencekam.
Dari sekian banyak lirik yang mengalir, ada satu catatan mengenai sikap politik yang dipilih oleh sebagian musisi kota Ini. Dari sekian banyak lirik politik yang ada, ternyata pilihan untuk menjadi apolitis adalah tema yang paling jamak diramu dalam nomor-nomor yang dihadirkan.
Saya mencatat pertama kali sikap apolitis tersirat dalam lagu "impresi" yang dibawakan Pas Band. Secara gamblang mereka tidak pernah menyatakan sebagai pribadi yan apolitis, tetapi dari liriknya jelas tersirat hal tersebut.
"Aku sudah bosan dengarkan kata-kata, Aku sudah muak dengarkan ceritamu. Dan aku sudah lelah dengar harapan." (Impresi - Pas Band)
Lagu yang video klipnya dilarang untuk diputar di seluruh stasiun TV nasional ini adalah sebuah pernyataan yang lugas bahwa mereka apolitis tanpa harus menyebut bahwa mereka adalah apolitis.
Sikap ini kemudian dipertebal beberapa belas tahun kemudian ketika kemudian Pas Band mengeluarkan lagu "Jengah". "Jengah" adalah sebuah "Impresi 2.0". Jengah adalah Impresi yang di-remake. Untungnya, remake ini adalah remake yang sukses.
"Kita bosan dengarkan banyak alasan. Kita bosan dengarkan cerita." (Jengah - Pas Band)
Lepas dari Pas Band, sikap apolitis juga dihadirkan oleh Homicide. Grup yang dalam salah satu pertunjukannya menyebut bahwa pilihan ideologi mereka adalah ideologi pertemanan. Entah ideologi macam apa itu.
Homicide adalah sebuah grup hip-hop yang berotakkan budayawan kontemporer bernama Ucok. Entah sudah berapa ratus judul literatur yang dilahap sampai Ia mampu merapalkan sikap apolitisnya dalam ide orang berdasi namun dengan "dialek" preman pasar.
Di banyak lagu, Ia menyatakan berbagai hal, namun muaranya sama, apolitis. Mulai dari ketidakpercayaannya pada demokrasi kotak suara sampai pada ajakannya untuk melawan dengan "botol kecap", sebuah pilihan majas yang unik untuk merujuk pada bom molotov.
Salah satu lirik yang patut menjadi sorotan adalah "Barisan Nisan". Sebuah sajak yang dibalut dengan nada monoton yang membangun suasana mencekam. Sebuah sajak yang bercerita mengenai kegundahan dalam menghadapi hidup. Sebuah perenungan mengenai apa perlunya untuk menjadi pribadi yang peduli terhadap politik versus apolitis.

"Jangan ijinkan aku mendisiplinkan diri ke dalam barisan." (Barisan Nisan - Homicide)
Terakhir adalah Cupumanik. Band grunge ini menjadi pelengkap gerbong musisi apolitis. Dalam lagu "Luka Bernegara", Cupumanik menyatakan sikapnya. Dengan lirik yang naratif namun tetap tak kehilangan keindahan yang puitis, Cupumanik mencoba bercerita mengenai keheranan mereka atas keadaan politik negara mereka. Lirik lagu ini adalah sebuah esai kausalitas mengenai pilihan hidup mereka. Sebuah runutan kejadian dan pembenaran atas sikap mereka.

"Tinggal di negara yang sakit, kami harus menjaga diri kami tetap waras." (Luka Bernegara - Cupumanik)
Menjadi apolitis adalah pilihan. Sebuah pilihan yang biasanya diambil setelah dikecewakan oleh sebuah sistem. Inilah dasar dari seorang anarcho (saya menghindari pemakaian kata anarkis, karena biasanya diasosiasikan dengan keadaan yang kacau-balau). Mengutip perkataan orang lain, "Karena sebaik apapun, sebuah sistem tetap beresiko mati oleh potensi mereka sendiri."