Senin, Oktober 25, 2010

Tes Tertulis (haaaah....)

Pengalaman cukup lama menjadi jobseeker (bahasa halus dari unemployee) memberi saya pengalaman yang cukup dalam menghadapi tes-tes ujian masuk ke dalam sebuah perusahaan. Masing-masing perusahaan pastinya punya kekhasan dalam memilih calon pekerjanya, tapi secara umum proses ini bisa dibagi menjadi tiga: seleksi curriculum vitae, tes tertulis dan wawancara.

Khusus untuk tes tertulis, Saya ingin memberi beberapa pengalaman saya. Tes biasanya dimulai dengan tes bakat skolastik, pengetahuan umum, dan tes kompetensi. Tes pengetahuan umum dan kompetensi tentunya sudah amat jelas. Yaitu untuk menilai wawasan seseorang dan mengetahui kompetensi orang tersebut dalam suatu bidang.

Tes bakat skolastik biasanya terdiri dari empat bagian yang terdiri dari tes verbal, tes numerik, tes logika, dan tes spasial (gambar). Tes ini biasanya menggunakan format pilihan ganda. Penilaian dilakukan terhadap kemampuan nalar (IQ) peserta. Contoh soal dari tes ini antara lain adalah meneruskan sebuah deret angka, mengurutkan gambar dari yang kecil ke yang besar, dan sebagainya (sumber: http://www.tesbakatskolastik.com/).

Lepas dari tes bakat skolastik, biasanya kita dihadapkan pada tes kepribadian. Pada tes ini, kita biasanya dihadapkan pada dua pilihan yang berupa contoh keadaan dalam hidup. Pilihan-pilihan tersebut akan mencerminkan kepribadian diri kita. Tes ini dilakukan untuk mengetahui kesesuaian pribadi kita dengan pekerjaan yang kita lamar. Misalnya untuk posisi pekerjaan sebagai seorang analis, maka kepribadian yang dicari adalah orang-orang yang teliti, tekun, sistematis dalam berpikir, kritis, rapih, dan konsisten.

Jangan terjebak dengan tidak memilih pilihan yang dirasa kurang sesuai dengan norma yang ada di masyarakat seperti “Saya terkadang merasa bosan dengan pasangan saya”. Untuk posisi-posisi yang membutuhkan jiwa dinamis seperti wartawan, tentunya yang dicari adalah orang-orang yang memilih pernyataan tersebut.

Selanjutnya adalah dua jenis tes menggambar. Yang pertama disebut dengan wartegg. Peserta dihadapkan pada delapan gambar yang belum selesai. Tugas peserta adalah melanjutkan gambar tersebut menjadi gambar yang lengkap. Beberapa gambar yang belum selesai itu terdiri dari garis lengkung (empat gambar), sedangkan sisanya berupa garis lurus. Seseorang yang memiliki kejiwaan normal, biasanya akan membuat gambar benda hidup untuk melanjutkan garis-garis lengkung dan akan menggambar benda-benda mati untuk melanjutkan garis-garis lurus. Jika yang tergambar adalah sebaliknya, maka ada kemungkinan cukup besar bahwa orang tersebut memiliki masalah dengan kejiwaannya.


Masing-masing gambar pun dapat menggambarkan kepribadian dari peserta tes itu sendiri:

  • gambar 1. Titik di tengah kotak : mengukur cara menempatkan diri dalam lingkungan.
  • gambar 2. Bentuk melengkung (menyerupai: ~) di bagian kiri kotak : menunjukkan fleksibilitas perasaan.
  • gambar 3. Garis-garis horisontal dengan panjang yang berbeda: mengukur hasrat untuk maju (ambisi).
  • gambar 4. Kotak kecil penuh di bagian kanan atas: mengukur cara mengatasi kesulitan.
  • gambar 5. Dua garis yang saling tegak lurus di sisi kiri bawah: mengukur cara bertindak.
  • gambar 6. Garis horisontal dan vertikal : mengukur cara berpikir, analisis, dan sintesis.
  • gambar 7. Titik-titik melengkung : mengukur kematangan mental.
  • gambar 8. Setengah lingkaran : mengukur kehidupan dan hubungan sosial.

(sumber: http://bagaimanatuh.blogspot.com/2008/09/tips-trik-menggambar-wartegg.html)

Tes gambar yang kedua adalah menggambar orang dan pohon. Sebenarnya objek gambar bisa apa saja, namun yang paling sering dipakai adalah dua gambar ini. Berbeda dengan tes-tes sebelumnya, tes ini amat sulit untuk dimanipulasi. Gambar yang detail dan lengkap menunjukkan bahwa orang tersebut teliti. Setiap gambar akan amat merepresentasikan diri kita. Gambar yang dibuat dengan garis-garis tegas dan mantap menyiratkan bahwa orang tersebut memiliki kepercayaan diri tinggi, tegas, bahkan egois. Garis yang terdiri dari beberapa tarikan garis menunjukkan bahwa orang tersebut berhati-hati dalam bertindak. Jika dalam mengarsir garis yang dibuat terlalu ditekan atau ada garis yang tiba-tiba berlawanan dengan arah garis lainnya, maka hal tersebut menunjukkan bahwa orang tersebut kemungkinan besar memiliki trauma di masa lalunya.

Saran saya, jangan mencoba-coba untuk merekayasa kepribadian melalui tes gambar ini karena rasanya tidak ada orang yang bisa merekayasa sebuah gambar seratus persen. Bila rekayasa tersebut dilakukan setengah-setengah, maka akan terlihat kontradiksi antara garis yang satu dengan yang lainnya.

Tes Kraepelin Pauli biasanya diletakkan sebagai tes paling akhir. Tes ini amat menguras konsentrasi dan umumnya menyebabkan kelelahan di akhir waktu. Tes ini menggunakan sebuah kertas besar dengan angka-angka berserakan di dalamnya. Tugas kita adalah menjumlahkan angka yang berdekatan secara vertikal.

Contoh:

1 9 1 0

4 0 4 8

2 8 5 6

5 7 8 3

6 6 4 8

7 5 3 4

3 4 8 2

Untuk baris pertama, maka yang harus kita kerjakan adalah menjumlahkan angka 1 dan 4, lalu hasil penjumlahan tersebut kita letakkan di antara kedua angka tersebut. Untuk penjumlahan dengan hasil yang bukan satuan, maka yang perlu kita tuliskan hanyalah satuannya saja.

Contoh:

1

5

4

6

2

7

5

11 (cukup ditulis 1)

6

13 (cukup ditulis 3)

7

0

3

Tes ini dilakukan untuk mengetahui daya tahan dan kemampuan seseorang dalam menghadapi tekanan. Dalam pengerjaannya, tes ini dibagi menjadi beberapa interval. Jumlah yang berhasil diselesaikan dalam tiap interval kemudian akan dibandingkan dalam bentuk grafik untuk kemudian dinilai. Seseorang yang memiliki daya tahan baik akan menghasilkan grafik pengerjaan yang stabil, sementara orang yang tidak memiliki daya tahan yang baik akan menghasilkan grafik yang menurun atau naik turun. Saran saya untuk menghadapi tes ini adalah kerjakan tes dengan santai dan jangan memforsir konsentrasi di awal tes sehingga grafik yang dihasilkan dapat stabil.

Selain tes-tes tersebut masih ada tes-tes tertulis lain yang terkadang diujikan. Salah satu contoh tes tersebut adalah tes pragmatisme. Soal yang diujikan biasanya amat sederhana dan bahkan terkadang tidak masuk akal.

Contoh:

1. 1 + 3 =

2. ½ + ¾ =

3. 0,8763 + ¾ =

4. Mengapa ketika membidik, seorang penembak selalu menutup salah satu matanya?

Peserta dibebaskan dalam memberikan jawaban. Jawaban bisa berupa sebuah proses, namun juga bisa berupa hasil akhirnya saja. Sama seperti tes kepribadian, tes ini juga ditujukan untuk mengetahui kepribadian seseorang. Tes ini berkaitan dengan cara pandang seseorang terhadap suatu masalah.

Misal, untuk mengerjakan soal nomer 2, seseorang bisa saja langsung menuliskan hasil penjumlahan tersebut, 5/4, atau bisa juga menjabarkan proses didapatnya angka 5/4 tersebut. Hal ini juga berlaku untuk nomer 2 dan 3. Soal nomer 4 pun demikian. Seseorang yang mementingkan proses tentu akan memberi penjelasan seperti, ”agar bayangan objek yang akan ditembak menjadi jelas karena hanya dilihat oleh satu mata.” Namun orang yang pragmatis (praktis) mungkin akan menjawab, ”agar tembakannya jitu.”

Demikianlah yang bisa saya sampaikan. Semoga sukses dalam tes-tes anda. =D

Jumat, Oktober 22, 2010

Bangsa ini butuh waktu untuk memaafkan

Bukan kemurahan maaf dari kita, orang Indonesia kebanyakan, yang menjadi penting. Kemurahan maaf dari mereka yang menjadi korban langsungnyalah yang harusnya menjadi pertimbangan utama. Sesuatu yang mungkin, maaf-maaf saja, tidak akan pernah ditemukan harga jadinya.

Maaf dari mereka yang pernah terkencing-kencing ketika orang tuanya ditarik paksa karena cap komunis. Maaf dari istri orang-orang seperti Wiji Tukul. Juga maaf dari orang tua seperti Herman Hendrawan yang hilang tak tentu rimba hingga saat ini.

Empati kita, yang orang Indonesia kebanyakan, rasanya tidak akan pernah bisa memahami kepiluan yang mereka rasakan. Ini bukan konsensus di mana suara terbanyak yang akan menentukan arah. Tidak adil jika suara kita, yang hanya menikmati swasembada pangan dan kesiapan menuju era tinggal landas, harus diberi harga yang sama dengan suara mereka yang telah didesain dalam keadaan rugi.

Mungkin sulit untuk meminta keikhlasan mereka di generasi ini. Maka hanya waktu yang bisa menyembuhkan. Hanya waktu yang bisa mereduksi kemarahan di tiap kelanjutan generasi kita. Sesuatu yang mungkin tidak akan tercapai dalam dekade ini. Sebuah proses panjang yang sadar tidak sadar telah kita mulai. Sampai waktunya nanti kita bisa dengan ikhlas mengatakan,"Terima kasih, pahlawan."