Senin, April 19, 2010

Remeh, tapi...

Pasca rentetan pengeboman di berbagai wilayah di Indonesia, hampir semua gedung perkantoran dan pusat bisnis di Jakarta memperketat pengamanannya. Satpam lengkap dengan metal detector siap menyambut setiap pengunjung yang hendak memasuki areal gedung.

Lucunya di sebagian gedung yang menerapkan pengamanan model tersebut, apapun hasil analisis metal detector, berbunyi atau tidak berbunyi, tidak berpengaruh terhadap keputusan satpam yang akan selalu mempersilahkan pengunjung untuk masuk ke dalam gedung. Kegiatan pemeriksaan dengan menggunakan metal detector ini seakan menjadi sia-sia. Toh, pada akhirnya semua orang diperbolehkan untuk masuk ke dalam gedung, hanya prosesnya saja yang dipersulit.

Sebagian orang mungkin akan berpikir bahwa lebih baik jika pintu masuk gedung-gedung tersebut tidak perlu memberlakukan proses pemindaian oleh satpam dengan metal detector. Hanya memperbesar biaya operasional saja.

Tentu pendapat tersebut amat tepat jika dilihat dari kacamata seorang pebisnis. Namun dibalik kemubadziran pada pekerjaan remeh tersebut, terselip sebuah manfaat yang tidak terlihat secara kasat mata.

* * *

Angka kemiskinan yang tinggi di Indonesia menjadi masalah tersendiri yang sulit ditangani. Sebagian dari mereka yang yang kurang beruntung karena miskin kemudian seolah mendapatkan penyelesaian jitu dengan jalan pintas, mengemis. Bayangkan saja, tanpa perlu bersusah payah, baik secara fisik maupun pikiran, mereka bisa mengumpulkan puluhan bahkan ratusan ribu rupiah per hari. Bebas potongan pajak pula! Akibatnya, terbentuklah mental-mental pengemis. Parahnya lagi adalah ketika mental-mental seperti itu tertanam pada mereka yang masih berusia belia.

Ketika mental mengemis sudah tertanam, maka mereka akan lupa bahwa sesungguhnya cara terbaik untuk mendapatkan uang adalah dengan berusaha, bukan dengan meminta-minta.

India pernah mengalami masalah yang kurang lebih sama dengan Indonesia, mental mengemis yang tinggi di kalangan masyarakat bawah. Untuk mengatasinya, mereka membuat sebuah program padat karya. Orang-orang usia kerja di sana direkrut untuk bekerja dengan gaji sedikit di bawah upah minimum.

Tolok ukur keberhasilan program ini bukanlah kualitas dari luaran proyek tersebut - setidaknya itu bukan yang paling utama. Tujuan utama proyek ini adalah untuk menumbuhkan semangat kerja di masyarakat mereka. Dengan memudahkan tersedianya pekerjaan, tentu angka pengangguran akan menurun terlebih dahulu. Kemudian selanjutnya, dengan diberikannya upah yang minim, pemerintah mendorong masyarakatnya untuk lebih giat mencari pekerjaan di tempat lain dengan modal pengalaman yang sudah mereka miliki.

Entah program di India tersebut memiliki tujuan yang sama atau tidak dengan pekerjaan-pekerjaan sepele seperti satpam dengan metal detector di Indonesia. Yang pasti, dengan membuat orang merasa sedang bekerja, maka ia telah terhindar dari terbentuknya mental pengemis di dalam dirinya.

Selasa, April 06, 2010

Langit Masih Terlalu Luas

Siapa yang terlanjur kenal dengan uang namun tidak tergoda sedikitpun dengannya? Hampir pasti tidak ada.

Uang memang tidak bisa membeli segalanya, tapi dengan uang, hampir segalanya bisa dibeli. Sebagai sebuah besaran, uang memiliki fleksibilitas yang tinggi hingga hampir semua barang pun jasa bisa dinilai dalam satuan-satuan yang dimilikinya.

Dimanapun, uang akan selalu memiliki dua sisi. Meskipun kedua sisi tersebut selalu berbeda, sifatnya akan selalu sama: seduktif. Sedikit banyak, hal itu juga yang mendorong saya saya untuk pindah dari kenyamanan ala kota Bogor ke tengah perkebunan di Lampung Tengah.

Awalnya agak kaget juga karena ternyata saya harus beradaptasi dengan wilayah yang masih kesulitan untuk mengakses informasi. Sinyal ponsel kelap-kelip, tidak ada jalur telepon kabel, dan warnet terdekat berjarak hampir 11 km (itupun per jamnya Rp 8000,00) membuat aktivitas saya di dunia maya semakin terbatas.

Hah, nikmati saja dulu. Toh pada akhirnya nanti akan ada waktu untuk meredefinisi mimpi. Luasnya langit masih menggoda untuk mengajak kembali berkelana.