Sabtu, Januari 30, 2010

Pintu Terlarang: sebuah kritik untuk televisi?


awas bocoran!
tapi kalo mau tetep nekad baca ya saya mau bilang apa. untuk kenyamanan anda sendiri saya sudah berusaha sebisa mungkin untuk menyamarkan apa-apa yang menjadi bagian film. maka dari itu jika anda belum menonton film ini kemungkinan besar anda tidak akan menangkap maksud tulisan ini.
hehehe.

setelah dua kali menonton film ini sekitar hampir satu tahun yang lalu, akhirnya saya tergelitik juga untuk beropini. dengan berbekal mesin pencari google, akhirnya saya berkesempatan membaca beberapa review tentang pintu terlarang. langkah yang tidak bijak ternyata karena pada akhirnya saya jadi pusing sendiri di tengah malam ini.

pusing karena setiap review mengembangkan imajinasinya masing-masing untuk menginterpretasi film ini. sementara semua orang tidak henti-hentinya memberi puja-puji untuk film ini, saya justru memilih sikap anti populis dan berusaha realistis. dengan berusaha untuk tidak terjebak pada bayang-bayang prestasi dan portofolio joko anwar, akhirnya saya memberanikan diri untuk mengambil konklusi bahwa film ini sampah biasa-biasa saja!

yah, mungkin memang gak sampah sih. film ini hanya film yang beda dari pakem film-film arus utama. saya hanya orang awam yang buta soal film-film festival dan lebih memilih untuk dibodoh-bodohi holywood untuk membayar karya-karya tipikal mereka.

tapi yang mengganjal adalah, dari sekian banyak review dan reka-reka sok pintar yang berhamburan di dunia maya, tidak ada satupun yang bisa menjelaskan (apa yang seharusnya menjadi) inti film ini: PINTU TERLARANG itu apaan? maka dari itu, saya tergerak untuk ikut-ikutan sok pintar menulis ide yang terbersit di kepala saya kali ini mengenai apa sesungguhnya pintu terlarang tersebut.

akhirnya saya memasrahkan diri untuk ikut dalam permainan joko anwar dalam mereka-reka isi otaknya. oh, sungguh kejamnya joko anwar karena pasti dia sangat girang bukan kepalang melihat reviewer-reviewer yang mencoba memahami film ini. belum tentu benar namun tetap saja segala puja-puji untuk beliau mengucur deras. arggh, saya membayangkan wajah joko anwar tersenyum licik.

parahnya lagi adalah jika ternyata joko anwar pun sebenarnya hanya sedang mempermainkan penonton dengan membuat plot-plot yang seolah terkembang dalam banyak persimpangan dan memang membebaskan imajinasi setiap penontonnya menginterpretasi filmnya sementara ia sendiri tidak punya interpretasi sendiri untuk film ini. semoga saja tidak. amin.

saya mendasarkan reka cerita ini pada dua resensi yang saya temukan di sini dan di sana. untuk lebih memudahkan anda membaca tulisan ini, saya persilahkan anda untuk membaca terlebih dahulu dua tulisan tersebut (dan menonton filmnya terlebih dahulu tentu saja). tapi kalau tidak mau ya tidak apa-apa. silahkan saja melanjutkan perhatian anda pada paragraf di bawah ini.

saya sepakat dengan pernyataan bahwa joko anwar memang sedang bercerita tentang sebuah jarak. bagaimana kamera dan monitor memberikan sebuah jarak yang aman bagi penonton untuk menikmati apa-apa yang seharusnya tabu dalam kehidupan nyata. sebuah jarak yang memberi kesempatan bagi penonton untuk menikmati "dosa" tanpa harus menjadi berdosa. kenikmatan itulah yang ditawarkan sebuah klub gak jelas bernama herosase. memberikan sajian fragmen-fragmen kehidupan beberapa orang yang diambil melalui kamera pengintai yang tersaji dalam beberapa kanal televisi.

film ini jelas penuh dengan metafora dan metafora yang (dengan sesuka hati) saya tangkap adalah kebudayaan pop televisi. bagaimana kita didoktrin bahwa televisi memuat berjuta informasi yang amat berguna bagi kita namun pada saat yang sama juga memuat paradoks berupa proses yang bernama dehumanisasi.

tayangan sadis, tidak realistis, dan imajinatif seolah mendapatkan pemakluman ketika ditonton melalui sekat berupa lembaran gelas pada tabung televisi (maafkan saya untuk mengabaikan teknologi layar yang sudah tidak menggunakan tabung). sebuah pemakluman yang kemudian sering mewujud dalam kalimat,"yaelaaah... namanya juga pelem".

namun sang tokoh utama dalam film ini, Gambir, merasakan keresahan karena menangkap realitas yang berlebihan pada televisi yang ia tonton. jika kita mendekatkan cerita ini ke kehidupan nyata pun kita akan mendapati tayangan-tayangan televisi seperti ini (yang sok realistis) semacam termehek-mehek dan realigi.

keresahan Gambir berbuntut pada kehidupan nyatanya. Ia merasa bahwa ada yang tidak benar dalam dunianya. tidak benar karena, entah di mana, ada seorang anak yang menjadi obyek kekerasan orang tuanya. sebuah realitas dalam wujud seorang anak yang ia lihat melalui layar televisi. Ia pun berhalusinasi bahwa ia memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan sang anak. ia merasa ada dialog yang mampu menembus sekat tabung televisi. sebuah dialog antara dia dan sang anak. akhirnya Gambir justru "terpaksa" untuk selalu melihat penyiksaan anak tersebut demi mendapatkan petunjuk di mana anak itu berada.

seperti yang sudah saya bilang tadi, bahwa layar televisi memberi jaminan batas aman bagi penonton untuk memahami mana yang nyata dan mana yang tidak. televisi menjadi saluran imajinasi yang tidak dimungkinkan untuk terjadi di alam nyata bahkan untuk menjadi saluran bagi apa-apa yang tabu. namun ketika kita sudah terpapar dengan sedemikian massifnya dengan pendaran cahaya dari televisi, maka bukan tidak mungkin semua yang ada di televisi tersebut mampu melangkah melalui sebuah PINTU TERLARANG tepat menuju otak kita melalui mata. inilah pintu terlarang yang dimaksud. tanpa disadari, tayangan televisi telah mencengkram kehidupan kita dengan begitu erat. hal ini pun telah diangkat oleh Neil Postman melalui bukunya, Amusing Ourselves to Death.

sebuah pintu yang membuat mereka mampu menjadi kewajaran di alam nyata. ya wajar-wajar saja, jika kita telah terpapar televisi dalam intensitas yang sedemikian tinggi, maka kehidupan kita pun adalah seputar yang ditayangkan televisi itu juga toh?

paparan-paparan ini kemudian secara tidak sadar membuat Gambir merasa sah-sah saja untuk mempraktekkan apa yang dia tonton di kehidupan nyata. maka ia pun menyelesaikan masalah di rumahnya dengan cara yang sudah dia pahami benar melalui televisi yang selalu ia lihat, yaitu kekerasan.

potongan metafora lain yang ada di film ini menurut saya adalah bahwa Gambir bukanlah satu orang. Gambir mewakili semua penonton yang menjadi korban adiksi televisi. Gambir dapat berupa orang biasa-biasa saja, bisa jadi seorang pematung, bisa jadi seorang suami, seorang anak, seseorang yang akhirnya menjadi gila, atau bahkan seorang pastor sekalipun (dua contoh terakhir tertuang dalam fragmen akhir film ini).

bukti kalo udah nonton dua kali!

Kamis, Januari 28, 2010

Sajak Suara

salah satu acara pembuka South to South Film Festival 2010 yang lalu adalah pembacaan puisi oleh dua orang anak korban lumpur Lapindo. dalam acara gladi resik, saya sempat menemani kedua anak itu mencoba sistem suara yang ada di panggung.

dengan lantang salah satu anak itu membacakan beberapa deret kalimat yang tercetak di selembar kertas yang sudah kumal. sementara rekannya memainkan nada-nada diatonik melalui piano mainan sebagai musik latarnya.

sebelumnya saya sempat berpikir bahwa mereka akan memainkan puisi karya mereka sendiri. ternyata yang mereka bawakan adalah milik orang lain. kaget juga mendengar permainan diksi dari puisi yang dibawakan anak itu. bait-baitnya keras menghentak meski tidak kasar. tidak mungkin ini adalah gubahan anak kecil.

setelah dua bait, saya mulai merasakan aroma-aroma HOMICIDE. sambil mengingat-ingat lagu HOMICIDE mana yang mirip dengan puisi tersebut. terus terang saya tidak pernah benar-benar mencoba menghafalkan lirik lagu-lagu HOMICIDE, kecuali barisan nisan. itupun lebih dikarenakan barisan nisan adalah satu-satunya lagu (atau sajak?) yang dilafazkan mereka dengan suara terang.

akhirnya waktunya pentas. sepanjang pembacaan puisi saya bersiap di sisi panggung. maklum, kebagian tugas menyiapkan panggung. lepas pembacaan puisi, kawan di sebelah saya bertanya,"tau gak tadi itu puisi siapa?"

"gak tau.. emang siapa?"

"widji tukul," ujarnya.

namanya memang tidak asing di telinga saya. sebagai salah satu korban keganasan praktik penghilangan orang, nama Widji Tukul telah melegenda jauh sebelum Munir wafat. namun demikian, saya baru satu kali mendengar puisinya. ah, miskin sekali wawasan sastra saya ini. setelah ditelisik lebih jauh, ternyata puisi yang dibawakan malam itu memang begitu melegenda di kalangan ekstrimis aktivis kemanusiaan, sampai-sampai HOMICIDE menginterpretasikan puisi ini ke dalam sebuah lagu dengan judul yang sama. inilah puisi yang dibawakan malam hari itu.

Sajak Suara

sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku

suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu : pemberontakkan!

sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang merayakan hartamu
ia ingin bicara
mengapa kaukokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?

sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ia yang mengajari aku untuk bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan

Rabu, Januari 27, 2010

Sidang

salah satu acara rutin yang menyebalkan di masa-masa aktif berorganisasi di kampus adalah ketika harus melakukan kongres. kongres, sidang umum, rapat akbar, suksesi, atau apalah namanya bisa menjadi pengalaman mengerikan karena sering membahas hal-hal yang tidak substansif sampai berjam-jam. misalnya, dalam penetapan tata tertib kongres dibahas apakah peserta kongres harus menggunakan sepatu di dalam kongres atau tidak. untuk kasus yang seperti ini, saya punya pengalaman.

saya yang ketika itu kebetulan sedang menjabat sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas pelaksanaan kongres tersebut (ketua pelaksana sidang) dipaksa menjadi pimpinan presidium sementara. tugasnya sih sepele, hanya menentukan presidium tetap untuk kongres. singkat kata, berkat ketegasan dan manuver saya (dengan mengatasnamakan efisiensi waktu) akhirnya saya bisa men-drive keputusan hingga tidak bertele-tele. tidak sampai 5 menit semenjak sidang dimulai pada pukul 9.00, forum sudah mendapatkan presidiumnya.

agenda pertama yang dibahas oleh presidium terpilih tentu saja adalah tata tertib sidang. sekali lagi, sebagai orang yang bertanggung jawab atas terlaksananya kongres ini, saya kembali bermanuver. dengan sigap saya mengusulkan untuk mempertimbangkan tata tertib yang sudah saya buat draftnya. akhirnya draft saya pun dibahas.

senyum optimis sempat mengembang. optimis sidang kali ini tidak akan bertele-tele dan dapat selesai secepat mungkin. namun ternyata dugaan saya meleset. adu argumen akhirnya meletus ketika membahas poin-poin tata tertib. kebanyakan yang dipermasalahkan pun tidak substantif. masalah pakaian yang harus dikenakan lah, masalah parameter kesopanan lah.

sampai satu poin, akhirnya posisi saya justru tersudutkan. salah satu poin yang sedang digodok adalah penggunaan jas almamater sebagai pakaian yang harus digunakan. sementara saya, tidak membawa jas almamater. setelah lobi-lobi dan adu argumentasi akhirnya disahkanlah tata tertib sidang di mana salah satu poinnya adalah: peserta sidang diharuskan mengenakan jas almamater.

maka dengan sangat ironis, orang yang sempat menjadi pimpinan presidium sementara, orang yang paling bertanggung jawab atas pelaksanaan sidang tersebut, harus keluar dari ruang sidang untuk mencari jas almamater.

menyesalkah? oh tidak. justru saya melihat ini sebagai keberuntungan. beruntung karena terbebas dari sidang yang rasanya akan banyak diwarnai dengan perdebatan non-substantif. akhirnya dengan langkah kaki ringan saya pulang ke rumah, makan siang, sholat, lalu bobok siang.

Selasa, Januari 26, 2010

selamat datang supremasi hukum di Indonesia

akhir-akhir ini banyak kasus yang sebenarnya tidak terlalu penting, dilaporkan ke polisi. dulu, yang biasa menggunakan modus operandi seperti ini hanya artis-artis yang sedang mencari sensasi. tapi sekarang, tiba-tiba fenomena ini menjadi milik semua orang.

jika saya tidak salah ingat, salah satu kasus awal yang cukup menyita perhatian adalah ketika seorang nenek dilaporkan ke polisi, sampai akhirnya diputuskan bersalah, karena mencuri tiga buah kakao. pasca booming kasus tersebut, mulai bertebaran aduan-aduan ke polisi yang sebenarnya hanya persoalan remeh. karena anaknya disengat oleh teman bermain anaknya, seorang bapak melaporkan kejadian tersebut kepada polisi. hanya karena dihina melalui facebook, lantas mengadu ke polisi. kasus-kasus tersebut, yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan jalan kekeluargaan.

sebenarnya tidak ada yang salah jika seorang korban kemudian memilih jalur hukum untuk menyelesaikan masalahnya ketimbang menggunakan jalan kekeluargaan, apalagi melalui jalur main hakim sendiri. toh, hukum dibuat memang untuk melindungi warga yang bernaung di wilayah yuridiksinya.

terlepas dari bijak atau tidaknya sang pelapor, justru ada sebuah kabar baik, karena ternyata sekarang rakyat mulai semakin percaya bahwa hukum bisa ditegakkan. disadari atau tidak, saat ini kita sedang berada di sebuah titik balik yang semoga saja bisa benar-benar membawa kebaikan bagi kita semua. setelah bertahun-tahun rakyat antipati terhadap hukum, ternyata sekarang keadaan mulai berbalik. selamat datang supremasi hukum.

Senin, Januari 18, 2010

politik statistik

politik bukan hanya sekedar angka-angka, karena yang seperti itu namanya statistik. tapi apa boleh buat, partai politik sekarang hanya peduli dengan angka, sudah enggan menyentuh akar rumput. bilapun iya, maka setiap belaian yang mereka usap ke akar rumput harus terkonversi menjadi sederet angka.

akar rumput lebih dipandang sebagai komoditas, bukan sebagai playground di mana mereka bisa saling membenturkan ideologi dan konsep. padahal program-program berkelanjutan di akar rumput bisa menjadi media promosi kesuksesan suatu ideologi. hanya cuap-cuap dengan saos kecap.

filantrofi bukan sebagai tanggung jawab moral, boro-boro menambah amal. hanya menjadi penting jika bisa menjadi kemenangan di pemilu dan pilkada. tatkala pemilihan usai, bendera warna-warni tersimpan rapat di lemari partai. tidak ada lagi yang berkibar di lokasi korban bencana.

kacamata kuda partai politik, mereka yang dididik dengan demokrasi statistik. di mana pemenang ditentukan dengan jumlah dan rakyat tak pernah mendapat kesempatan untuk menelaah.

Rabu, Januari 13, 2010

ideologi

dengan alasan menutupi defisit anggaran, pemerintah kota pekanbaru akhirnya memberlakukan pajak daerah sebesar sepuluh persen untuk nasi bungkus. ironis, ketika salah satu propinsi terkaya di indonesia justru lebih memilih untuk meminta kepada rakyat kecilnya, bukan dari mereka yang mapan yang bekerja di perusahaan-perusahaan multinasional di sana.

mungkin keadaan seperti ini juga yang kemudian membulatkan tekad H. Misbach untuk kemudian bergabung dalam gerakan awal PKI. marah dengan kraton yang tidak henti-hentinya menghisap darah rakyat dan kecewa dengan melempemnya perjuangan HOS Cokroaminoto dengan Muhammadiyahnya serta Serikat Islam yang justru sibuk memperkaya diri sendiri.

tidak banyak yang mengenal siapa H. Misbach saat ini. wajar saja, "fatwa haram" komunis oleh pemerintah orde baru memang membuat tenggelam banyak nama pejuang komunis di Indonesia. padahal kalau mau kita gali, kontribusi orang-orang komunis terhadap kemerdekaan Indonesia tidak bisa dibilang kecil. mulai dari aktivis-aktivis yang "menculik" Soekarno ke Rengasdengklok untuk memaksanya menyatakan kemerdekaan Indonesia sampai Ki Hajar Dewantara adalah orang-orang komunis.

tulisan ini tidak ditujukan untuk membela atau memutihkan nama PKI. mungkin memang CIA memainkan peran belakang panggung yang luar biasa hebatnya pada medio 1965 yang lalu. tidak bisa disangkal bahwa memang ada keterlibatan beberapa petinggi PKI dalam gerakan tersebut seperti yang dipaparkan oleh John Roosa. namun apa tujuan semua itu? semua masih kabur.

ide yang ditawarkan pada tulisan ini lebih membahas mengenai komunisme sebagai sebuah ideologi. dilarangnya ideologi ini di Indonesia lebih disebabkan karena pemberontakan Madiun dan G30/S-PKI. sebenarnya tidak adil memutus haram suatu ideologi hanya karena satu dua tindakan. bayangkan saja bagaimana tidak logisnya apabila Islam dilarang hanya karena adanya gerakan NII-DI/TII yang ingin makar atau karena FPI main hakim sendiri mengacak-acak tempat yang mereka sebut maksiat.

dalam perkembangannya komunisme pun memiliki banyak mazhab, ada leninisme, maoisme, anarcho-communist, dan lain-lain. kalau memang ada hal-hal yang bertentangan dengan ideologi pancasila, bukan tidak mungkin mengadopsi komunisme dengan citarasa yang lebih Indonesia.

kebencian masyarakat terhadap komunis sebenarnya lebih disebabkan sentimen tanpa alasan. alasan atheisme dengan mudah dapat dipatahkan. jika memang komunisme tidak mempercayai tuhan, lantas bagaimana mungkin komunis jutru masuk ke Indonesia pertama kali melalui organisasi Serikat Islam?

sebagai sebuah ideologi yang berlandaskan materialisme, komunisme memang cenderung mengabaikan eksistensi tuhan. tapi hal ini tidak membuat mereka bisa dicap sebagai atheis. lawan utama komunisme, kapitalisme, pun melandaskan prinsip-prinsip materialisme dan cenderung mengabaikan eksistensi tuhan. tapi mengapa ideologi ini dapat lebih diterima di Indonesia? kedua ideologi ini bukanlah sebuah paket dengan harga pas yang tidak dapat ditawar. lihat saja bagaimana H. Misbach yang berjuang bersama komunis dengan tetap meletakkan Al-Quran sebagai landasannya.

obrolan ideologi memang bukan makanan ringan yang bisa disantap santai di warung-warung kopi. banyak orang yang mengaku pancasilais tetapi mengancam akan membunuh siapapun yang ingin membangkitkan kembali komunisme. di mana letak kemanusiaan yang adil dan beradab-nya? maka mahfumlah apabila sedikit yang paham benar dengan apa itu komunisme. pancasila pun saat ini hanya sekedar lima sila tanpa makna yang menggema tanpa jiwa di upacara hari senin.

tidak banyak yang tahu bahwa tataran ideal komunis adalah sebuah masyarakat yang adil, sejahtera, dan bahagia, pun menyenangkan. tidak banyak yang paham bahwa komunis yang menganut paham internasionalisme (lawan dari nasionalisme) adalah penentang keras setiap bentuk penjajahan di muka bumi ini.

saya sendiri tidak dalam posisi mendukung berkembangnya komunisme di Indonesia. tapi saya juga tidak akan melarang-larang. kalau Islam pun bisa semoderat PKS, maka komunisme maupun ideologi-ideologi lainnya pun bisa menjadi moderat.

buat saya, semua ideologi adalah utopia, sesempurna apapun ideologi tersebut. karena dalam praktiknya, ideologi tersebut tetap harus dijalankan oleh manusia, yang memiliki berjuta kealpaan.

Selasa, Januari 05, 2010

menitipkan asa bumi pada film kartun dan komik

bagaimana sebuah tontonan yang ringan ternyata bisa memuat muatan politis yang amat besar tentu amat menarik. rasanya sedikit yang menyangka bahwa kehidupan Smurf yang imut-imut itu ternyata adalah sebuah alegori kehidupan masyarakat komunis.

sebenarnya bukan hanya smurf, banyak cerita anak-anak lain yang memiliki "pembonceng". tentunya hal ini sah-sah saja. sebuah cerita yang baik tentunya adalah cerita yang menyisipkan pesan moral di dalamnya, baik yang sifatnya bisa diterima secara umum (seperti cerita Doraemon yang mengajarkan adab dalam berkawan), sampai yang ditujukan untuk pengembangan satu ideologi tertentu seperti smurf dan masyarakat komunisnya.

beberapa cerita anak lain yang sarat dengan propaganda antara lain adalah Dora yang mengajarkan anak-anak Amerika Serikat sedari dini untuk memiliki rasa tenggang rasa terhadap warga keturunan latin, Si Unyil yang tema tiap episodenya selalu disesuaikan dengan kebijakan pemerintah yang sedang in di waktu tersebut, sampai upin-ipin yang merupakan propaganda Islam.

penanaman moral, paham, dan ideologi kepada anak sedari dini menjadi penting karena semua itu dapat terekam dalam area sub-conscious sang anak. pertarungan ideologi di masa anak-anak merupakan investasi jangka panjang yang buahnya baru akan terlihat 15-20 tahun kemudian. ketimbang berkampanye kepada orang dewasa, tentunya berkampanye kepada anak kecil akan lebih mudah diterima. anak kecil, dengan keterbatasan pengalamannya, tentu tidak memiliki banyak pembanding (benchmark) atas apa yang disodorkan kepada mereka hingga mereka menjadi tidak terlalu banyak membantah dan lebih mudah mengimani apa saja yang dikatakan padanya. tentunya semua itu hanya dapat berhasil apabila dilakukan dengan komunikasi yang tepat untuk anak kecil.


di tengah kefrustasian warga negara-negara dunia ketiga atas arogansi gaya hidup warga Amerika Serikat, yang menghambur-hamburkan sumber daya alam, sedangkan pemerintahnya tidak memiliki komitmen untuk mendorong warganya agar lebih berhemat, tentunya kampanye terhadap anak usia dini menjadi pilihan yang semakin realistis.

rasanya sulit sekali untuk mengajak Amerika Serikat berkomitmen untuk mengurangi emisi karbonnya. mereka menolak untuk meratifikasi Protokol Kyoto, dan di tiap pertemuan COP pun Amerika Serikat selalu menjadi peserta yang paling ngeyel. entah apa yang salah dengan Amerika Serikat sehingga mereka enggan sekali berkomitmen.

mungkin komitmen dari mereka tidak dapat kita capai sekarang, tapi komitmen itu masih bisa kita harapkan pada tahun-tahun mendatang. kembali ke cerita anak-anak, saya teringat dengan kartun Captain Planet yang pernah saya tonton di dekade 90-an. sebuah cerita superhero yang berusaha menyelamatkan bumi dari kerusakan alam seperli limbah cair, radioaktif, sampai pembalakan hutan.

rasanya Amerika Serikat butuh menayangkan kartun-kartun seperti ini kembali. sebuah kartun dengan misi khususnya yang mengajarkan anak untuk lebih menghargai bumi dan lebih bertanggung jawab atas segala perbuatannya.