Jumat, Mei 29, 2009

The (un)reality show

beberapa minggu belakangan ini saya mulai bisa kembali memantau acara-acara di televisi dan saya tersadar akan satu genre baru di televisi kita yang sedang naik daun: (un)reality show. acara termehek-mehek, realigi, mata-mata, dan sejenisnya dibuat seolah-olah adalah kejadian nyata padahal semua adalah rekaan. semua adalah aktor dan aktris yang sedang berakting.

entah apa tujuan mereka membuat acara ini. mungkin dengan membungkus ketoprakan modern ini dalam bingkai reality show maka efek drama-nya lebih tereksplor karena penonton mengira bahwa semua adalah nyata! sukseskah? sukses berat! masyarakat tertipu dan semakin menebalkan premis "manusia-manusia indonesia terlalu naif".

sebagai bentuk kreativitas mungkin hal ini sah-sah saja. yang kemudian menjadi masalah adalah ketika materi yang tersaji sangat opera sabun, hiperbolis. kalau tayangan sinetron saja bisa menggeser pola pikir masyarakat indonesia, bagaimana dengan suatu tayangan yang dicap KEJADIAN NYATA?

televisi memiliki kekuatan yang amat besar dalam mempengaruhi orang. apa yang muncul di televisi sering diterjemahkan sebagai sesuatu yang lumrah oleh penontonnya. jika di televisi banyak perempuan yang memakai baju seksi, maka penonton akan meredefinisikan arti "pakaian yang keren" dari yang selama ini mereka yakini menjadi apa yang dicontohkan di televisi.

salah satu produk siaran televisi yang disebut dengan nama sinetron (yang jelas-jelas cuma sandiwara) sering dianggap sebagai suatu kelaziman oleh orang yang menontonnya. apa yang tertuang di sinetron sering dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan sah-sah saja bila terjadi di kehidupan nyata. apalagi dengan sebuah tayangan yang ngakunya adalah kejadian nyata.

semua jenis (un)reality show yang saya sebut di atas selalu menghadirkan konflik yang rasa-rasanya sangat jauh dengan keadaan masyarakat kita. adek selingkuh dengan kakak iparnyalah, suami tukang maen perempuan yang punya utang 2 milyarlah, adek mergokin kakaknya yang ternyata WTS-lah. rasa-rasanya kejadian kayak begini pun masih jauh perbandingannya dari satu banding sejuta. lantas kenapa yang borok-borok seperti ini ditayangin secara rutin dan diaku-akuin sebagai kejadian yang nyata? bukan nggak mungkin penonton acara-acara beginian menjadi semakin permisif dengan hal-hal yang sebenernya cuma ada di khayalan si tim kreatif acara ini.

ada satu kutipan menarik dari film "V for Vendetta": artists use lies to tell the truth. pelukis menggunakan kanvas untuk mendeskripsikan keindahan sebuah pantai. lukisan adalah sebuah kebohongan karena tidak nyata, tapi keindahan pantai yang hadir dari lukisan itu adalah nyata, senyata pantai yang aslinya. sedangkan acara-acara (un)reality show ini adalah sebaliknya: they uses the truth to tell lies. mereka menggunakan acara yang dianggap orang sebagai kenyataan untuk menyampaikan kebohongan-kebohongan.

sebagai akhir, saya menarik kesimpulan bahwa televisi di indonesia telah gagal memberikan gambaran masyarakat kita secara proporsional, adil, dan menyeluruh. televisi di indonesia telah lupa bahwa mereka memiliki tanggung jawab moral dan terlena dengan rating dan jumlah iklan yang masuk. sekali lagi, quo vadis televisi indonesia!